Tahukah kamu bahwa HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit yang paling mematikan di dunia? Apa yang menjadi penyebab penyakit AIDS? AIDS disebabkan oleh penularan Human Immunodeficiency Virus atau yang sering disingkat HIV. Virus HIV menyerang sistem kekebalan tubuh dan menghancurkan sel CD4 yang bertugas untuk melawan infeksi dari sistem kekebalan tubuh. Virus HIV dapat menular akibat beberapa hal. Yang pertama adalah dengan donor darah yang terinfeksi.Â
Maka, sebelum darah didonorkan kepada yang membutuhkan, darah akan melalui proses uji terlebih dahulu. Dan bila ditemukan adanya virus dalam darah, darah tersebut akan dibuang dan tidak akan didonorkan. Selanjutnya adalah dengan hubungan seks tanpa menggunakan pelindung. Maka dari itu, sebaiknya menghindari seks bebas karena membawa resiko tertularnya HIV. Juga lebih baik apabila pasangan melakukan tes HIV. Yang terakhir adalah penularan dari ibu ke anaknya. Hal ini dapat terjadi selama proses kehamilan, melahirkan, dan menyusui. Maka ibu yang memiliki HIV tidak diperkenankan untuk menyusui.
Angka kematian akibat HIV cukup tinggi dan hal ini menarik perhatian seluruh orang di dunia. Maka diperlukan obat untuk menyembuhkan penyakit AIDS. Para ilmuwan berusaha dalam mengatasi meningkatnya angka kematian yang diakibatkan oleh virus HIV dengan obat yang disebut dengan ARV. Namun, bagaimana para ilmuwan dapat memastikan bahwa obat ini merupakan obat yang sesuai dan tepat untuk penyembuhan penyakit AIDS pada manusia?Â
Tentu saja segala jenis obat-obatan atau bahan kimia yang akan dikonsumsi oleh manusia harus melalui tahap pengujian. Apakah animal testing adalah jawabannya? Apa itu animal testing? Animal testing adalah setiap percobaan atau tes ilmiah di mana hewan yang masih hidup dipaksa untuk menjalani sesuatu yang menyebabkan rasa sakit, menderita, tertekan, atau dalam bahaya. Hewan telah digunakan sebagai bahan penelitian sejak abad ke-4 SM oleh Aristoteles, dan menjadi lebih umum pada abad ke-18 dan ke-19. Banyak sekali jenis hewan yang dimanfaatkan dalam animal testing seperti tikus, kelinci, dan simpanse. Pada artikel ini akan dibahas mengenai pemanfaatan simpanse sebagai bahan uji coba obat AIDS.
Mengapa para ilmuwan menggunakan simpanse sebagai media percobaan? Simpanse digunakan karena adanya Simian Immunodeficiency Virus (SIV) yang ada pada simpanse. Virus ini yang akan menjadi HIV-1 apabila berada di tubuh manusia. Meski demikian, sebenarnya virus SIV ini pada awalnya bukan berasal dari simpanse melainkan dari monyet. Virus yang dibawa monyet ini masuk dalam produk terpisah ke tubuh simpanse dan mengalami penggabungan membentuk virus hibrida.
Simpanse merupakan salah satu hewan yang layak untuk dilindungi, seperti yang dijelaskan dalam PP RI No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Diperlukan pengendalian dalam memanfaatkan hewan sebagai bahan uji coba. Di luar simpanse, angka kematian hewan yang diakibatkan oleh animal testing dapat dibilang sangat tinggi. Jumlah hewan yang mati karena percobaan sebanyak 10,1-16,7 juta ekor setiap tahunnya. Hewan-hewan yang digunakan pada akhirnya akan dibunuh karena jumlahnya yang cukup banyak. Hal ini tentu tidak sesuai dengan hukum perlindungan satwa.
Simpanse banyak digunakan untuk menguji obat-obatan sebelum dikonsumsi oleh manusia. Hal ini dikarenakan adanya kemiripan yang sangat tinggi antara simpanse dengan manusia dibandingkan dengan hewan lainnya. DNA simpanse sebanyak 97% dinyatakan sama dengan manusia. Namun demikian, tetap ada perbedaan antara keduanya. Perbedaan yang paling signifikan terletak pada otak. Otak manusia tiga kali lebih besar daripada simpanse dan mengandung sel yang lebih banyak.Â
Juga masih terdapat puluhan juta sekuens DNA yang berbeda antara manusia dengan simpanse. Karena perbedaan ini, obat-obatan yang dikonsumsi tetap akan memunculkan efek samping pada para penggunanya dan memungkinkan pula adanya kegagalan pada manusia. Karena tindakan uji coba obat HIV pada simpanse ternyata tidak membuahkan hasil yang signifikan, maka National Institutes of Health memutuskan untuk tidak lagi mendanai penelitian HIV/AIDS yang memanfaatkan simpanse.
Apabila tidak diperkenankan untuk menggunakan simpanse, lantas bagaimana para ilmuwan dapat melakukan uji coba obat? Apakah aman jika langsung diterapkan pada penderita? Tentu tidak. Maka, ada metode lain sebagai alternatif dari animal testing.Â
Metode yang dapat dilakukan yakni kultur sel. Kultur sel dapat dimanfaatkan sebagai bahan uji coba lebih tertuju pada penyerapan bahan kimia oleh kulit, fitotoksisitas, dan korosi kulit. Sebelum menggunakan kultur sel, para ahli menggunakan sel-sel embrio tikus untuk melakukan uji coba tersebut. Selain itu, sel-sel donasi manusia juga dapat dimanfaatkan sebagai alat uji coba.Â
Dengan menggunakan sel manusia, tentu obat yang diujikan dapat lebih terjamin keberhasilannya bila dibandingkan dengan menggunakan hewan. Metode lain yakni dengan menggunakan computer atau teknologi yang telah ditemukan oleh manusia. Metode-metode tersebut menunjukkan bahwa terdapat cara untuk menghindari dampak negative dari uji coba obat pada hewan. Lagipula, kemajuan teknologi di masa sekarang membuat animal testing menjadi sebuah cara yang tidak dapat dibenarkan.
Terdapat alasan mengapa tindakan animal testing tidak seharusnya dilakukan :
1.Berdasarkan penelitian, hanya 5%-25% Â kecocokan obat yang diujikan pada hewan untuk manusia.
2.Banyak hewan yang mengalami tumor akibat menjadi objek percobaan obat.
3.Hewan seringkali dijadikan bahan uji untuk penyakit yang tidak mereka miliki sehingga muncul ketidakcocokan.
4.Hewan dan manusia memberikan efek yang berbeda terhadap bahan kimia yang diberikan.
5.Terbukti bahwa banyak produk yang tidak sesuai pada tubuh hewan namun dapat dikonsumsi manusia tanpa ada efek samping yang berbahaya.
6.Tingginya angka kematian hewan di laboratorium akibat animal testing.
Akhir-akhir ini, banyak brand kosmetik atau produk lain yang memiliki kesadaran dan berhenti melakukan animal testing. Salah satu brand yakni The Body Shop. Mereka melakukan sebuah kampanye yang membuktikan bahwa mereka mampu menghasilkan produk-produk yang berkualitas tanpa melakukan tes yang berbahaya bagi hewan.Â
The Body Shop telah bekerja sama dengan Cruelty Free International selama 28 tahun. Mereka menyadari bahwa animal testing adalah sebuah cara yang kuno sedangkan kini manusia telah dimudahkan dengan teknologi yang canggih. Percobaan atau uji coba produk dapat ditempuh dengan cara-cara yang berbasis komputer.Â
Hal ini juga didasarkan pada larangan Uni Eropa mengenai animal testing yang dikemukakan pada tahun 2013. Sebagai konsumen, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendukung berakhirnya animal testing yakni dengan membeli produk-produk yang berlabelkan free animal testing. Dengan demikian, kita juga dapat menunjukkan kontribusi dan kepedulian kita.
Kita tidak dapat memungkiri bahwa manusia membutuhkan obat yang mampu menyembuhkan segala macam penyakit yang dalam artikel ini tertuju pada penyakit AIDS. Namun, bukan berarti untuk mendapatkan obat dapat dilakukan segala macam cara yang membawa dampak negatif bagi spesies lain. Berdasarkan data dan teori yang ada, penulis tidak menyetujui penggunaan simpanse sebagai bahan uji coba obat penyakit. Dengan adanya kemajuan di berbagai bidang kehidupan, diharapkan dapat menghentikan cara-cara yang sudah tidak relevan di era ini.
Daftar Pustaka
1.Amazine.co. t.t. "Animal Testing: Menelusuri Sejarah Pengujian pada Hewan"
Diunduh dari https://www.amazine.co/22225/animal-testing-menelusuri-sejarah-pengujian-pada-hewan/
Rabu, 21 Agustus 2019, pukul 15.26
2.Kompas.com. 2018. "HIV/AIDS dalam Angka: 36,9 Juta Penderita 25 Persen Tak Menyadarinya"
Diunduh dari https://lifestyle.kompas.com/read/2018/12/01/124545720/hivaids-dalam-angka-369-juta-penderita-25-persen-tak-menyadarinya?page=all
Rabu, 21 Agustus 2019, pukul 15.41
3.Andini,Widya. 2019. "Apa itu HIV/AIDS?"
Diunduh dari https://hellosehat.com/penyakit/hiv-aids/
Rabu, 21 Agustus 2019, pukul 16.23
4.Commentaries, Health. 2016. "Why Chimpanzee-Testing in Medicine Had to End"
Diunduh dari https://www.independentsciencenews.org/health/why-chimpanzee-testing-in-medicine-had-to-end/
Rabu, 21 Agustus 2019, pukul 16.47
5.Lovgren, Stefan. 2003. "HIV Originated With Monkeys, Not Chimps, Study Finds"
Diunduh dari https://www.nationalgeographic.com/science/2003/06/news-hiv-aids-monkeys-chimps-origin/
Jumat, 23 Agustus 2019, pukul 20.17
6.Amazine.co. t.t. "Animal Testing: 4 Metode Alternatif bagi Pengujian ke Hewan" Diunduh dari https://www.amazine.co/22213/animal-testing-4-metode-alternatif-bagi-pengujian-ke-hewan/
Jumat, 23 Agustus 2019, pukul 20.39
7.Amazine.co. t.t. "Animal Testing: 17 Data Statistik Pengujian Pada Hewan"
Diunduh dari https://www.amazine.co/22228/animal-testing-17-data-statistik-pengujian-pada-hewan/
Jumat, 23 Agustus 2019, pukul 20.54
8.Kompas.com. 2017. "Terungkap, Inilah yang Membuat Kita Berbeda dengan Simpanse"
Diunduh dari https://sains.kompas.com/read/2017/11/26/205147623/terungkap-inilah-yang-membuat-kita-berbeda-dengan-simpanse?page=all
Jumat, 23 Agustus 2019, pukul 21.08
9.Amazine.co. t.t. "Animal Testing: 12 Fakta tentang Pengujian pada Hewan"
Diunduh dari https://www.amazine.co/22220/animal-testing-12-fakta-tentang-pengujian-pada-hewan/
Jumat, 23 Agustus 2019, pukul 23.17
10.Crueltyfreeinternational.org. t.t. "What is Animal Testing?"
Diunduh dari https://www.crueltyfreeinternational.org/why-we-do-it/what-animal-testing
Jumat, 23 Agustus 2019, pukul 23.24
11.Dara, Nadila. 2017. "Masih Wajibkah Animal Testing dalam Uji Coba Kosmetik?"
Diunduh dari https://editorial.femaledaily.com/blog/2017/06/01/masih-wajibkah-animal-testing-dalam-uji-coba-kosmetik/
Jumat, 23 Agustus 2019, pukul 23.35
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H