Hati bukan diciptakan hanya untuk baper, tapi juga untuk penunjuk arah atau kompas. Kamis, 23 Februari 2023 sore hari di sepanjang Jalan Kaliurang, Yogyakarta, aku dan temanku, panggil saja Indi keliling Yogyakarta dengan menggunakan kata hati untuk mencari nutrisi otak. Ya, apalagi kalau bukan buku.Â
Tentu tujuan utama kami cafe book karena bagi anak kos itu menguntungkan, nutrisi otak iya, nutrisi perut juga tak ketinggalan. Karena, bukan kah logika tanpa logistik tak logis? Haha begitulah ucap guruku yang tertanam hingga kini.
Tujuan utama kami sebenarnya Berdikari Book, namun ternyata hari itu tutup yang akhirnya membuat kami memutar otak harus ke cafe book mana. Setelah pencarian kurang lebih 30 menit di bawah rintikan hujan, akhirnya kami menemukan destinasi cafe book yang akan kami tuju. Buku Akik.Â
Ya, namanya unik dan tempatnya hidden gem. Jujur, kami belum pernah tau cafe itu sebelumnya dan belum pernah terlintas dalam otak kami untuk ke cafe itu, apalagi jaraknya yang cukup jauh dari Berdikari Book. Tapi, baiklah kami coba turuti kata hati kami yang entah apakah tempat itu sesuai apa yang kita inginkan atau tidak.
Hujan, petir, dan jalanan yang berlubang (kami nyasar btw, ga berani buka maps karena petirnya ga main-main), namun kami tetap susuri jalan itu dengan masih percaya pada kata hati kami. Entah magnet apa yang membuat hati kami tertarik ke cafe ini sampai-sampai hujan dan petir sepanjang jalan tetap kami terjang.Â
Hingga akhirnya setelah kurang lebih 20 menit, kami sampai juga di Buku Akik. Kedatangan kami disambut oleh puluhan pasang mata yang hampir bersamaan menoleh ke arah kami datang.
Sambutan yang awkward itu kami hadapi dengan berlaga sok santai sambil berjalan perlahan ke arah samping cafe. Tatapan akward itu masih berlanjut hingga akhirnya seorang pekerja cafe itu menghampiri kami, mungkin karena kasian kali ya, udah basah kuyup ga berani masuk, cuman tolah toleh di samping cafe hahaha.Â
"Mbak, ini kan lagi ada launching bukunya Mbak Reda Gaudiamo, masuk aja gapapa, sebenernya ini ada registrasinya sih. Tapi gapapa mbak, langsung masuk aja". Begitulah kata mas-mas yang tadi melirik kami dengan awkward.
Kami masuk dengan awkward juga karena semua pengunjung sudah duduk manis dan fokus mendengarkan materi dari guest star yang duduk di depan mereka, sedangkan kami baru datang dengan baju yang lumayan basah.Â
Kami yang belum tau siapa beliau akhirnya cobalah stalking, dan ternyata beliau adalah sosok penulis, musisi, dan sastrawan. Kami yang awalnya hanya mau baca buku, akhirnya ikut juga menikmati cerita dan lantunan syair yang beliau bawakan.
Dari pertemuan singkat kami dengan beliau sore itu mengajarkanku banyak hal, diantaranya:
1. Dengarkan Kata Hati
Sama halnya seperti ketika kami mencari cafe book, begitu juga dalam hidup. Ada kalanya kita perlu menepi sejenak dari hiruk pikuk dunia dan coba mendengarkan kata hati. Boleh jadi selama ini telinga dan mata kita terlalu sibuk memandu arah hidup dibanding hati kita sendiri. Dari mbak Reda, kami belajar bahwa beliau juga mengikuti kata hatinya dalam berkarya dan memang betul apa yang disampaikan dari hati akan sampai ke hati.
2. Be a Professional
Perjalanan dan hasil memang boleh jadi tak selalu seindah ekspektasi kita, namun sebenarnya kita hanya dituntut untuk profesional dalam berjuang bukan berhasil. Kira-kira begitulah pelajaran yang bisa kami dapatkan dari Mbak Reda yang menceritakan perjalanannya dalam berkarya. Beliau juga tidak langsung menjadi penulis handal ketika mengawali karirnya, namun hal yang menjadi prinsipnya yaitu tetap profesional, hingga akhrinya membawa beliau di titik ini.
3. Jangan Asal Mengadopsi Standar Hidup
Sudahkah kita mempunyai standar hidup sendiri? Atau standar yang kita pakai selama ini adalah standar orang-orang tanpa sempat memfilternya? Melalui karya-karyanya, salah satunya yaitu lagu yang beliau bawakan sore itu mengingatkanku pada hal ini.Â
Beliau begitu menikmati cara beliau mengekspresikan diri dalam karya dan seakan beliau hendak menyampaikan bahwa beliau memiliki standarnya sendiri dalam hidup, bukan sekedar "ikut ikutan" standar orang lain.Â
Melalui kekonsistenan beliau dalam membawakan lantunan syair-syair pun juga membuatku berfikir bahwa bisa jadi yang memberatkan kita itu sebenarnya kita sendiri karena terlalu banyak mengadopsi standar orang lain, dan yang membuat kita enggan untuk berkarya juga bisa jadi karena standar dan ekspektasi orang yang menjadi kompas kita, bukan hati kita.
Dari perjalanan yang awalnya kami anggap awkward sore itu, kami banyak belajar dan bersyukur karena telah diingatkan untuk mendengarkan kata hati kami. Sore itu kami sadar bahwa hati merupakan salah satu kompas untuk menemukan guru terbaik dalam hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H