Mohon tunggu...
Elisa Triwiyatsih
Elisa Triwiyatsih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Communication Entusiast || Alumni Sekolah Tinggi Multi Media Yogyakarta

Saya sangat menyukai bidang pendidikan dan menulis. Saya memiliki beberapa buku yang telah diterbitkan oleh beberapa penerbit, salah satunya Novel berjudul SMK (Sekolah Menengah Kejombloan) yang diterbitkan oleh Guepedia. Selain itu, saya juga senang membuat konten-konten edukasi di media sosial.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kata Hati, Kompas Menemukan Guru Terbaik

24 Februari 2023   17:53 Diperbarui: 25 Februari 2023   06:42 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari pertemuan singkat kami dengan beliau sore itu mengajarkanku banyak hal, diantaranya:

1. Dengarkan Kata Hati

Sama halnya seperti ketika kami mencari cafe book, begitu juga dalam hidup. Ada kalanya kita perlu menepi sejenak dari hiruk pikuk dunia dan coba mendengarkan kata hati. Boleh jadi selama ini telinga dan mata kita terlalu sibuk memandu arah hidup dibanding hati kita sendiri. Dari mbak Reda, kami belajar bahwa beliau juga mengikuti kata hatinya dalam berkarya dan memang betul apa yang disampaikan dari hati akan sampai ke hati.

2. Be a Professional

Perjalanan dan hasil memang boleh jadi tak selalu seindah ekspektasi kita, namun sebenarnya kita hanya dituntut untuk profesional dalam berjuang bukan berhasil. Kira-kira begitulah pelajaran yang bisa kami dapatkan dari Mbak Reda yang menceritakan perjalanannya dalam berkarya. Beliau juga tidak langsung menjadi penulis handal ketika mengawali karirnya, namun hal yang menjadi prinsipnya yaitu tetap profesional, hingga akhrinya membawa beliau di titik ini.

3. Jangan Asal Mengadopsi Standar Hidup

Sudahkah kita mempunyai standar hidup sendiri? Atau standar yang kita pakai selama ini adalah standar orang-orang tanpa sempat memfilternya? Melalui karya-karyanya, salah satunya yaitu lagu yang beliau bawakan sore itu mengingatkanku pada hal ini. 

Beliau begitu menikmati cara beliau mengekspresikan diri dalam karya dan seakan beliau hendak menyampaikan bahwa beliau memiliki standarnya sendiri dalam hidup, bukan sekedar "ikut ikutan" standar orang lain. 

Melalui kekonsistenan beliau dalam membawakan lantunan syair-syair pun juga membuatku berfikir bahwa bisa jadi yang memberatkan kita itu sebenarnya kita sendiri karena terlalu banyak mengadopsi standar orang lain, dan yang membuat kita enggan untuk berkarya juga bisa jadi karena standar dan ekspektasi orang yang menjadi kompas kita, bukan hati kita.

Dari perjalanan yang awalnya kami anggap awkward sore itu, kami banyak belajar dan bersyukur karena telah diingatkan untuk mendengarkan kata hati kami. Sore itu kami sadar bahwa hati merupakan salah satu kompas untuk menemukan guru terbaik dalam hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun