“Bapak juga heran. Katanya jaman reformasi, besih dari KKN. Nyatanya sama saja.”
“Bukannya Pak Samsul itu orang yang rajin ke mesjid dan sering ikut pengajian? Masa tidak tahu bahwa yang disuap sama yang menyuap itu dosa?” kataku agak kencang. Bapak dan ibuku diam saja. Mulutku juga diam, hanya suara televisi yang menayangkan demontrasi guru-guru honorer yang gajinya belum dibayar yang terdengar.
Sebelum aku kembali ke tempat perantauanku, aku dikunjungi oleh Ustad Abdul yang sekarang menjadi ketua DKM. Ustad Abdul pernah mengajari aku mengaji walaupun sebentar sebab seringnya aku belajar mengaji dari Kyai Rojali yang sudah sepuh. Tentu saja kedatangannya ke rumahku seperti tidak ada hujan tidak ada angin. Lelaki separuh baya itu datang berselendang putih di lehernya. Peci putih yang menenpel anggun dikepalanya menandakan bahwa beliau telah menunaikan rukun islam yang ke lima ke tanah suci. Jenggotnya lebat perpaduan antara antara warna hitam dan putih. Aku menerima kedatangan beliau dengan tangan terbuka di ruang depan. Setelah kupersilakan masuk, beliau duduk di kursi coklat yang warnanya telah kekuning-kuningan.
“Ada apa gerangan ustad berkunjung ke gubuk yang sudah tua ini?” sapaku.
“Ah Tidak usah begitu Nak Rahman. Saya ikut senang kamu bisa bekerja dan sukses di kota.”
Ada perasaan kurang setuju dengan kalimat terakhir yang diucapkan Ustad Abdul. Sebab aku baru bekerja beberapa bulan di kota dan belum dapat dikategorikan sebagai orang sukses. Pujian itu terlalu berlebihan buatku. Aku dan Ustad Abdul berbicara ke sana kemari. Sesekali tertawa ketika Ustad Abdul mengingatkan tentang masa laluku. Dan pada ujung pembicaraan Ustad Abdul mengatakan sesuatu yang diluar nalarku. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H