Mohon tunggu...
Elinus Waruwu
Elinus Waruwu Mohon Tunggu... -

Guru SD sejak 1989 sampai sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Cinta Seorang Perempuan

30 Maret 2013   23:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:58 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KISAH CINTA SEORANG PEREMPUAN

Oleh Elinus Waruwu, S.Pd

Aku seorang laki-laki yang meniti pendidikan di negeri orang. Selaku dari Nias yang masih kaku dan sangat menjaga nilai-nilai adat Nias yang selalu susah dalam pergaulan. Kuceritakan pengalaman hidupku bertemu dengan seorang perempuan cantik dari suku Batak kepadaku. Sesungguhnya, sebagai laki-laki normal jelas aku tertarik kepada perempuan yang kumaksud. Dan hal itu, aku tampil apa adanya, selama satu sekolah 1986-1989 aku menunjukkan rasa simpatik kepada perempuan itu. Dan walaupun aku tertarik kepada perempuan itu, aku sesungguhnya belum ingin mencintainya apalagi jatuh cinta, untuk dapat memilikinya.

Sejauh itu, aku hanya menganggap dia sebagai teman baik dari antara banyak kawan lainnya. Kebaikan-kebaikanku rupanya menjadi pemicu hingga akhirnya dia jatuh cinta kepadaku. Inilah kisah pengalaman nyata, aku berteman dengan lawanjenis yang berbeda. Aku tidak mempunyai keinginan untuk mencintai dirinya, tetapi kebaikanku diartikan lain. Aku dianggapnya sebagai pasangan cinta sementara aku sendiri hanya biasa-biasa.

Secara singkat perempuan itu bernama Asti (nama samara), dia hebat dan mempunyai beberapa keunggulan dibanding perempuan lain. Di kelas dia masuk rangking sepuluh besar. Pernah menjadi juara I lomba balap sepeda 30 kilometer. Ia mendapat piala dan sejumlah uang. Saat itu tahun 1988, dia menyerahkan hadiah yang diterimanya itu, dan sejumlah uang juga diberikan kepadaku. Aku hanya memegang sementara lalu memuji kehebatannya, dan dia sangat bahagia. Ketika hadiah itu kuserahkan kepadanya kembali, dia bilang agar aku menyimpannya sebagai tanda cintanya padaku. Akupun mengatakan sudah menerimanya, dan meminta disimpannya saja. Aku katakana padanya, laki-laki tidak cocok sebagai bendahara, tetapi perempuan itu pas dan sesuai.

Tanpa putus asa, aku diajaknya menonton di bioskop. Aku tahu bioskop saat itu adalah tempat memutar film-film percintaan. Aku tolak secara halus karena aku tidak ingin terjebak dalam cintanya. Aku tahu juga bahwa dia sangat berharap mengikuti ajakannya. Dia bercerita bahwa belum pernah berduaan dengan laki-laki, apalagi menonton di bioskop. Hal itu aku jadi sadar bahwa kami sama-sama polos dalam pengalaman menonton, dan tidak pernah mengalami hal menonton yang unik seperti di bioskop. Kukatakan kepadanya, bahwa baguslah tidak menonton karena belum ada pengalaman untuk itu. Tapi dia mendesakku. Katanya, “Kita coba dong, Bang. Aku ingin sekali ditemani Abang!”

“Tidak bisa, Asti. Aku bukan tipe laki-laki yang suka hal-hal seperti menonton. Apalagi hanya berdua, kita bisa terjebak dalam percintaan terlarang.” jawabku. “Apakah Abang tidak cinta kepadaku?” selidiknya.

Lama sekali aku menjawab pertanyaannya itu. Aku bingung. Kalau aku katakan, tidak! Maka aku bisa bayangkan betapa kecewa dan hancur hatinya padaku. Dan kalau aku katakan ya cinta kepadanya, pastilah dia memaksaku untuk menonton berdua di bioskop itu. Maka saat itu, aku dihadapkan dalam masalah seperti peribahasa bagai makan buah si malakama. Hahahaha…

Aku diam dan diam… seakan tidak bisa membuka mulut dan berpura-pura memikirkan sesuatu jawaban yang tepat. Dia akhirnya, membangunkan aku dari lamunan. “Bang, kok bengong sih?” tanya Asti tiba-tiba setelah aku diam agak lama.

“Eh, … iya. Iya, aku sedang memikirkan kerjaku di rumah. Maaf, ya. Aku tidak tahu apa topik pembicaraan kita.” kataku padanya bohong. “Hahahahaha… aneh Abang ini. Kita sedang bicara serius, kok tiba-tiba yang lain dipikirkan,” setengah mengejek aku.

“Ah, kamu ini sih Asti, kamu tahu kan. Aku habis dari sekolah, harus bekerja setengah hari menolong Pastor di biara. Aku takut, kalau kita menonton lalu ketahuan aku bersamamu. Kan bisa susah. Bisa-bisa aku bermasalah di tempat kerja. Lalu, kalau aku bermasalah, siapa yang membiayai hidup dan sekolahku nanti?” aku mengalihkan pembicaraan dari menonton bioskop ke masalah kerjaku.

“Yah, sudah Bang. Aku mengalah deh, tidak usah kita menonton ke bioskop itu. Tapi Abang janji ya, Abang setia kepadaku.” katanya berharap. “Wah, sip kalau itu. Percaya deh, kamu tahu kan. Aku tidak pernah punya hubungan khusus dengan perempuan siapapun. Aku takut kepada perempuan, Asti!” aku mengaku dan berterus terang. Saat itulah dia pegang tanganku. Katanya, “Aku percaya deh sama Abang. Aku tahu Abang orang yang baik dan terbaik dalam hidupku. Aku tidak pernah memegang tangan laki-laki seperti aku lakukan sama Abang ini. Maafkan aku, aku harus mengatakan perasaanku kepada Abang. Aku sangat mencintai Abang, dan aku takut kehilangan Abang.” katanya sambil meremas tanganku.

Biasanya laki-laki yang meremas tangan perempuan, ini dunia mulai terbalik. Dan dalam hatiku, aku hanya berpikir lain. Kapanlah aku bisa lepas dari terkaman perempuan hebat ini? Aku mati kutu dibuatnya dengan cara dan keberaniannya siang itu. Sekitar 30 menit keakraban itu akhirnya berlalu juga. Aku lihat jam tangannya dan kutanya, “Jam berapa sudah, ya?”

“Eh… sudah jam 2 siang, Bang.” jawabnya. “Asti. Aku berterima kasih banyak atas kebaikanmu padaku, ya! Aku sih kepingin lama-lama di sini. Tapi, aku ingat banyak cucian di tempat kerjaku. Nanti bisa lama baru selesai, sudah bisakah kita pulang dulu?” tanyaku padanya.

“Iya, Bang. Tidak apa-apa. Aku hanya rindu berdua saja sama Abang. Bolehlah kita pulang saja. Jangan lupa doakan aku ya!” katanya mengamanatkan sesuatu yang sangat berarti padaku. Kamipun berpisah siang itu. Dan sepanjang perjalanan naik sepeda pulang, pikiranku tidak karuan-karuan, aku berpikir dan mengutuk diriku telah berdua dengan seorang perempuan cantik.

Suatu hari, saat les pelajaran agama. Asti diminta oleh Ibu guru agama memimpin doa mengawali pelajaran. Maklum teman-temanku sering menjodohkan aku dengan dia. Sering kuping ini tak tahan, dan karena aku diejek terpaksalah aku balas ejek. Aku ketawa-ketawa saat Asti memimpin nyanyian dan doa. Waduh… celaka. Dia menulis surat cintanya padaku. Dan isi surat cintanya itu, kira-kira isinya begini.

Abang yang baik. Kenapa sih Abang tega ribut ketika aku memimpin doa? Tidak adakah perasaan Abang menghargai sedikitpun ketika aku dalam tugas memimpin doa? Aku selama ini menilai Abang itu orang baik dan dewa penolong bagiku. Sampai hatikah Abang ribut karena tidak senang kepadaku?” Itulah isi surat cinta amarahnya kepadaku. Tanpa banyak berpikir, akupun emosi pula. Aku berbisik dalam hati, ini kesempatan aku memutuskan cintanya padaku. Lagi pula, aku tidak mencintainya.

Nah… bisa dibayangkan apa tindakan bodoh yang aku lakukan. Kubalas surat cintanya itu. Dengan isi suratku kira-kira demikian. Asti yang baik, aku tahu kamu adalah wanita yang cantik dan baik. Tapi, maafkanlah daku. Gara-gara cintamu, aku sudah pusing tujuh keliling. Cukuplah sampai di sini saja hubungan baik kita. Aku telah menodai cintamu padaku dengan ribut saat kamu memimpin doa. Lupakanlah itu, dan tolong lupakan pula hubungan baik kita.

Surat itu kutitip kepada teman yang menyampaikan suratnya kepadaku sebelumnya. Sejak peristiwa itu, aku komitmen akan memutuskan hubungan dengan dia. Tidak pernah lagi kuingat cintanya kepadaku. Besoknya setelah menerima suratku itu, tampaklah olehku wajahnya tidak karuan. Matanya lembab seperti sudah capek menangis. Aku sih kasihan kepadanya, tetapi aku juga sadar bahwa aku bukan miliknya. Yah untuk apa dipedulikan perempuan cantik seperti itu, dia bukan milikku, itulah yang ada dalam benakku.

Karena kejadian itu, aku selalu menghindar untuk menatapnya, dan mengelak saat berpapasan. Aku tahu, dia ingin bicara kepadaku, tetapi aku selalu menghindar sejak kubalas surat cintanya itu. Satu minggu berlalu, dan akhirnya dia berani mendekatiku. “Bang, bolehkan kita bicara?” tanya dia pelan. “Ada apa lagi, aku kan sudah bilang kita putuskan saja pertemanan kita. Kita lebih baik fokus untuk belajar, daripada memikirkan hubungan cinta!” jawabku tegas dalam keadaan masih emosi. “Iya. Aku tahu Abang telah sakit hati kepadaku. Sampai pula pusing kepala Abang tujuh keliling. Tapi, tidak salah kan aku meminta maaf?”

Mendengar kata-kata manisnya itu dengan lemah lembut. Perasaan yang sama muncul mendadak dalam hatiku. Aku berpikir, kok jadi terbalik dunia ini? Aku yang salah eh dia yang meminta maaf. Bila kuingat kejadian itu, aku ketawa sendiri mengejek diriku sebagai laki-laki yang pengecut. Tidak tahu diri, sudah salah tidak mau meminta maaf. Wah… Ketika itu, akupun sadar bahwa perempuan yang berhadapan denganku adalah seorang wanita cantik yang hebat dan tidak seyogianya diperlakukan kasar.

Maka kuulurkan tanganku menyalam dia untuk berdamai. “Maafkan aku, ya, Asti. Aku yang salah kepadamu, dan bukan kamu yang salah kepadaku. Kita luruskan yang sebenarnya. Aku mohon maaf, di mana suratku itu, ya?” kataku dan menyelidik segala. Diapun rogoh kantong bajunya, dan dikembalikan kepadaku. Kulihat air matanya jatuh, dan kukatakan padanya agar tidak sedih lagi. “Sudahlah, kita teman baik, kok. Aku ribut waktu itu karena aku sering diejek pasangan dengan kamu. Jadi, aku malu. Sekarang kita sudah berdamai. Aku meminta maaf dan aku berharap kita semakin berjuang untuk lebih saling menyemangati dalam belajar.” Aku menenangkannya dan memotivasi agar semakin lebih semangat ke depan.

Walaupun aku menghiburnya, tetapi air matanya semakin menjadi-jadi turun bagaikan hujan. “Asti.. tolong dong tidak usah menangis terus, aku malu sama orang, dikirain aku sudah memarahami kalau begini dilihat orang sekitar.” pintaku padanya, dan akhirnya dia mengelap air matanya.

“Abang tahu, aku sangat sedih. Hatiku hancur membaca isi surat Abang itu. Aku penasaran, aku merasa bersalah, aku tidak bisa tidur, dan ketika aku belajar di rumah aku gak bisa konsentrasi. Sering kubaca surat Abang itu, kukantongi terus, lalu aku frustrasi. Semakin kubaca, semakin tidak karuan hidup ini.” katanya berterus terang kepadaku. Waduh… akupun semakin sadar telah berbuat kesalahan fatal kepadanya. “Mengapa sampai begitu Asti? Kita kan hanya berteman? Kok bisa perasaanmu seperti itu ya?” aku selidik pura-pura ingin tahu.

“Yah, iya dong. Selama ini aku anggap Abang itu orang terbaik. Tapi kok memarahi aku? Aku merasakan pukulan yang paling berat. Mengapa aku berbuat baik, tiba-tiba aku dimarahi Abang? Apakah isi suratku untuk mengingatkan yang baik kepada Abang itu salah? Kok jadi aku dimusihi? Dan yang tidak bisa kuterima, kata-kata Abang itu, kita putuskan saja hubungan ini, aku sudah pusing tujuh keliling. Bagaimana bisa aku buat Abang pusing tujuh keliling?” Perempuan cantik itu, adu argument dan bertanya siapa yang salah dan benar.

Aku sadar dia sangat serius mengatakan semua itu kepadaku. Akupun tidak bisa menjawab lagi. Aku tahu akulah yang salah dalam bertindak kepadanya. Akulah yang salah, ini jelas. “Aku menerima kesalahanku itu, akulah yang sesungguhnya yang salah. Sekarang aku tahu, kamulah yang benar. Kejadian kemarin adalah emosi belaka. Dan sekarang sudah kutarik suratku itu kepadamu. Itu berarti, aku tidak ada lagi rasa sakit hati padamu. Kuharap Asti menerima minta maafku, dan berusaha bangkit semangat kembali seperti biasa. Maukah kamu memaafkan aku?” pengakuanku dan sambil bertanya. Kami masih bersalaman sambil berbicara serius tentang masalah masa lalu itu.

“Yah, mau. Sebelum Abang meminta maaf, aku sudah lapang dada kok. Hanya saja, aku tidak bisa bertahan seperti pikiran ini terus. Aku ingat dan baca surat Abang itu, aku sulit tidur. Gak tahu kenapa? Kucoba berdoa tetapi perasaanku juga hampa.” jelasnya padaku mendetail. Aku menyimpulkan, bahwa dia seorang wanita yang sensitif dan tidak boleh seharusnya disakiti seperti kuperlakukan padanya.

Ya ampun. Aku enak-enak tidur. Aku sudah melupakan perempuan cantik ini. Tapi kok terbalik dunia ini. Entah sudah berapa kali dunia ini terbalik dan terbalik. Aku mengutuk diriku kesekian kali, lagi pula aku tidak punya saudara perempuan dalam keluarga. Aku refleksi diriku, dan bertanya mengapa harus jahat kepadanya. Lagi pula selama ini, dia memang selain cantik, baik lagi. Banyak keunggulan dia miliki dibanding dariku. Kurenungkan cita-citaku sebagai Pastor yang menjadi misionaris. Wah… hancur hatiku merenungkan sikapku itu. Mengapa aku bodoh, harus menyakiti orang sebaik ini?

Berlalu dan waktu berputar terus. Setelah kejadian saling memaafkan itu. Perempuan cantik itu terus kompak dengan diriku. Dan kutunjukkan kebaikanku padanya untuk menebus kesalahanku yang telah membuat dirinya susah gara-gara aku. Motivasi belajarnya juga semakin tumbuh, seiring dia berteman baik kepadaku. Dia juga berusaha tampil lebih baik dariku, dan hal itu kurasakan karena bisa melihat perkembangan dirinya pesat. Kami seangkatan walaupun berbeda kelas. Dari cerita-cerita teman dekat di kelasnya, banyak teman sekelasnya mengakui kehebatannya. Aku bangga mendengar cerita teman-teman, bahwa perempuan yang cantik itu sangat semangat dalam belajar.

Memang kami jarang berduaan, tetapi sesekali ngobrol berdua ada juga. Sekali waktu kami shering. Dan aku pernah mengatakan kepadanya bahwa bila aku telah lulus dari SPG nanti, aku akan kuliah melanjutkan sekolah. Aku berterus terang kepadanya bahwa aku ingin menjadi seorang Pastor. Itu berarti memilih hidup tanpa berkeluarga. Saat itu, dia tidak terlalu serius menanggapinya. Mungkin dia berpikir bahwa itu tidak menjadi masalah dengan hubungan di antara kami. Kemungkinan lain, dia tidak yakin aku memilih hidup membiara seperti itu. Maka dia terus dekat denganku hingga kami duduk di kelas tiga SPG.

Cintanya Bagaikan Embun

Dari sekian banyak wanita yang kukenal, cinta teman perempuanku yang cantik dan hebat itu kurasakan bagaikan embun yang dingin dan sejuk, bahkan memang tulus dan ikhlas. Dia juga pandai menjaga diri terhadap teman laki-laki lain. Kebersamaan dan kemesraan di antara kami terjadi di kelas III, ketika study tour ke Padang. Waktu itu, dia memilih satu bus dengaku. Katanya, “Aku yang bayar ongkos Abang kali ini, ya. Dan kita satu bus saja. Aku takut kalau aku mabuk tidak ada yang memperhatikan daku.”

Tentu aku menyetujui saja keinginannya itu. Kami naik bus bermerk TERANG. Dalam penyusunan bangku tempat duduk, perempuan di depan dan laki-laki semua di bangku belakang. Namanya ramai-ramai, tentu saja perjalanan gembira dan ketawa-ketawa sering meledak. Ejekan-ejekan dalam bus tidak bisa dihindari. Aku pilih bangku di tengah, dan kuharap aku tidak mabuk.

Benar saja di tengah perjalanan, setelah 5 jam bus kami berlalu, hampir semua teman perempuan mabuk dan muntah-muntah. Aku sendiri juga mabuk dan muntah. Sementara Asti perempuan cantik dan hebat itu duduk dekat supir di depan. Dia sama sekali tidak mabuk dan sesekali melirik aku di belakang yang mana sudah capek mabuk. Ibu Guru Bahasa Inggris (Ibu Harahap) yang duduk di depan menyuruh Asti itu menolong aku. Walikelas kami Pak Rambe juga menyarankan agar aku duduk di bangku depan dekat perempuan. Tapi, maklumlah aku laki-laki pemalu. Aku tidak mendengarkan saran mereka. Ketika kami beristirahat di Bukittinggi, kami turun dan Asti mendekatiku.

“Bang, di depan saja kita duduk. Abang bisa duduk di depan kakiku. Kan tidak apa-apa. Daripada mabuk terus, nanti bisa sakit.” katanya menjelaskan. Dalam hatiku sebenarnya oke, tetapi kutolak secara halus. Diapun tidak putus asa, merayu aku, agar mau duduk di bangku depan. Dia meminta kepada guru kami, agar Ibu Guru kami menyarankan demikian kepadaku.

Singkat cerita, jadilah aku duduk di bangku depan kaki perempuan cantik itu. Dalam perjalanan aku memang tidak sadar diri. Lagi pula sudah larut malam, aku kedinginan duduk di bangku depan itu. Asti teman baikku itu sangat peka. Dia amat kasihan kepadaku, dan jaket yang dikenakannya itu dia buka dan menyelimuti aku. Paling hebatnya, aku merasakan belaiannya, dia menyandarkan kepalaku di kakinya dan berusaha mengurus diriku yang pemabuk itu. “Bang, jangan marah ya, aku boleh memegang kepalamu ini?” tanya dia di tengah malam larut, sunyi, dan sepi karena memang semua seisi bus sudah tertidur.

Aku tidak bisa menjawabnya lagi, dan akhirnya kurasakan belaian tangannya memegang kepalaku. Dia sangat baik seperti Ibu kandungku. Sementara, aku amat lelah dan tanpa sadar aku tertidur pulas di sandaran kaki perempuan cantik itu.

Seumur hidupku, itu cinta tulus seorang perempuan hebat kurasakan. Minyak kayu putih yang dioleskan di kepala dan dadaku terasa hangat dan membuat daku sembuh dari rasa mabuk itu. Aku tahu dia amat mencintai aku saat itu, dan dia berusaha memberi yang terbaik. Sikap budi terbaik yang tidak pernah bisa aku balas. Aku diselamatkan dari ancaman mabuk, dan tidak tanggung-tanggung dia memperlakukan aku sebagai anaknya. Aku bayangkan di bus itu, akulah laki-laki beruntung didampingi oleh perempuan cantik dan hebat.

Kami tiba di danau Singkarak Sumatera Barat. Bus kami berhenti di situ. Kami sarapan pagi dan cuaca sangat cerah. Kami juga diperbolehkan mandi di danau Singkarak itu, dua orang guru mengawal kami dan menyarankan mandi agar mendapat kesegaran. Saat itu, aku turun dari bus dan perempuan cantik yang hebat itu turut mengangkat ranselku. Kami duduk dan bergabung bersama teman-teman lainnya. Aku permisi kepadanya, dan bertanya apakah aku boleh mandi di danau itu atau tidak. Asti mengiyakan dan tidak merasa keberatan.

Dia meraih sesuatu, mengeluarkan snek berupa roti, ditawarkan kepadaku. Kamipun makan roti dan memesan nasi di kedai tepi pantai danau Singkarak. “Kalau Abang mau mandi di danau itu, boleh. Tapi, makan dulu biar jangan masuk angin…” katanya padaku begitu baiknya.

Kurasakan studi tour itu amat mengesankan. Selain didampingi perempuan cantik, aku merasakan sikapnya padaku terasa lain. Sempat pula bersemi cintaku padanya atas kejadian itu. Namun, tidak pernah kuperlihatkan bahwa aku diam-diam juga mencintainya. Aku tidak pernah mengeluarkan statemen sepatah katapun tentang cinta kepadanya. Kalau kurenungkan, aku sadar cintaku itu adalah cinta monyet, tumbuh sesaat tanpa ada ikatan yang mendalam. Atau mungkin itu pula yang disebut cinta ego dari seorang laki-laki. Terlalu… amat terlalu …

Dua hari dua malam perjalanan study tour ke Padang itu meninggalkan kesan yang amat mendalam. Rumah-rumah adat Minangkabau di Sumatera Barat kami telusuri dan saksikan bersama. Pantai di dekat kota Padang juga amat menyejukkan. Rombongan kami bagaikan turis dalam negeri berkeliling dan menyinggahi tempat-tempat wisata yang menarik seperti Payakumbuh dan lain sebagainya. Kota Padang yang terkenal sebagai kota paling bersih di Indonesia menyimpan sejuta pesona panorama yang indah-indah. Dan perjalanan yang paling menyenangkan kurasakan saat itu, dibumbuhi cinta seseorang kepadaku.

Tidak berapa lama setelah study tour itu, kamipun mengikuti ujian terakhir dengan nama Ebtanas. Pada hari terakhir setelah ujian selesai, perempuan cantik yang kusebut wanita hebat itupun berpesan padaku. “Tolong habis ujian terakhir nanti, tidak usah langsung pulang ya, Bang. Kita bisa ngomong sebentar di kantin sekolah.”

Usai ujian hari terakhir, aku sudah ditunggu olehnya sedang minum di kantin. Terjadi lagi keakraban di antara kami berdua. “Abang, minum apa ya?” tanya dia padaku begitu masuk ke kantin itu. “Apa saja juga boleh. Samakan saja dong. Kalau boleh makan miesop sekalian.” jawabku kepadanya. “Eh, pengalaman study tour kemarin, aku rasakan paling nyaman lho…” katanya memulai obrolan. “Yah, aku juga Asti. Aku paling merasa enak, sih. Tahu kenapa? Ya, aku duduk di sisi seorang perempuan yang cantik, hebat, dan keibuan lagi… hehehehe…” balasku tidak mau kalah seru. Dia mencubit lenganku, dan tersenyum. “Abang ada-ada saja ya, pintar memuji aku. Gak ada nih uang receh… hehehehe… “

“Yah udah, kalau kamu tidak punya uang hari ini, aku yang traktir. Nanti semua aku yang bayar sekali ini. Sekarang kamu mau makan apa dan minum apa saja di kantin ini, kupersilahkan sampai puas. Gak usah takut. Aku tidak lari, lagi pula kan sudah selesai ujian.” sambungku lagi kepadanya. “Boleh, boleh… Bang. Tapi maaf aku tidak kuat makan. Minum juga gak terlalu hobi. Abang saja, kenapa sih?”

“Kalau aku yang makan dan minum, nanti kebanyakan, dan tidak cukup uang membayarnya. Apakah kamu punya uang banyak untuk membayar uang makanku hari ini?” tanyaku padanya. Secepat kilat dia rogoh kantongnya, lalu mengeluarkan sesuatu. “Abang tidak percaya bahwa aku bisa membayarnya, nih buku tabungan ini Abang pegang saja. Uang yang kemarin aku terima ketika juara lomba balap sepeda itu belum kupakai. Aku sudah menabungnya di buku tabungan ini.” Asti menjelaskan bahwa dirinya juga orang hemat seperti aku. Aku menilai diriku selalu kalah dari dirinya kalau sudah begini. Maka aku alihkan pembicaraan lain dengan bertanya kepadanya, ke mana melanjutkan study.

Kami terjebak dalam perasaan masing-masing. Kutengok wajahnya menyimpan sesuatu yang tersembunyi di balik melanjutkan study itu. Dia tidak menjawabku, dan hanya menatap wajahku seakan ingin mengatakan sesuatu yang selama ini disembunyikannya kepadaku. Tentu saja aku penasaran ada apa dengan perempuan cantik ini. Aku berkata kepadanya, “Asti, kamu adalah teman terbaik yang pernah kumiliki di sekolah ini. Aku salut kepadamu, dan aku ingin kamu lebih sukses dari padaku. Ada apa, kok tidak menjawab soal melanjutkan study itu?” Dia tarik nafas dalam-dalam, dan memohon satu permintaan kepadaku.

“Begini, Bang. Aku akan menjawab pertanyaan Abang itu. Tetapi sebelum aku menjawabnya, aku ada satu permintaan.” katanya serius sekali dan berhenti bicara sesaat. Jelas, aku penasaran, aku membayangkan yang tidak-tidak, mungkinkah dia menganggur? Ataukah tidak ada biaya? Atau apa gerangan permintaannya kepadaku. “Yah, kalau permintaanmu uang, terus terang aku tidak bisa. Kamu tahu kan, aku bisa sekolah di tempat ini hanya karena dibiayai oleh Pastor, kalau tidak yah mungkin sudah menjadi petani di kampung.” jawabku padanya.

“Bukan, Bang. Aku tidak meminta uang!” jelasnya padaku dan berhenti lagi bicara. Aku semakin penasaran. Kupikirkan yang lain-lain, mungkinkah Asti ini meminta agar aku mengawininya? Kalau itu, jelas aku tolak, bisikku dalam hati. Tetapi aku takut mempertanyakan yang satu itu, aku hanya menebak-nebak. Kuberanikan bertanya, “Apa permintaanmu? Kalau aku bisa, maka aku penuhi permintaanmu itu.” jawabku kepadanya.

“Aku ingin memperkenalkan Abang kepada orang tuaku di pulau Samosir. Hanya itu yang kuminta. Aku beritahukan bahwa ada seorang laki-laki baik yang sudah lama berteman denganku selama sekolah di Sibolga ini. Itu saja Bang. Maukah Abang kuperkenalkan kepada orangtuaku?” tanya dia mengharapkan jawaban ya dariku. Tetapi aku diam saja, justru aku yang ketakutan. Aku membayangkan diriku dipukul oleh saudara-saudaranya, seperti di adat Nias bahwa tidak diperkenankan seorang perempuan bersama laki-laki. Aku mulai dihantui rasa takut, ini harus seorang laki-laki pemberani.

“Apa maksud perkenalan itu? Apakah tidak mengancam jiwa ragaku dan dipukuli nanti oleh orangtuamu atau saudara-saudaramu? Mengapa harus seperti itu? Terus terang aku tidak berani dan takut. Lagi pula, kita belum berbuat apa-apa lho Asti. Kok sampai ke perkenalan orangtua sih? Aku gak berani Asti.” kataku kepadanya dengan menolak permintaannya itu.

“Aku jamin Abang tidak akan dipukul. Orangtuaku tidak sekasar yang Abang bayangkan itu. Juga saudaraku tidak berjiwa suka memukul seperti yang Abang katakan itu. Ini hanya perkenalan saja. Aku memperkenalkan bahwa ada laki-laki yang aku suka, soal kawin juga tidak kita bicarakan. Hanya perkenalan saja kepada keluargaku, kalau soal jadi kita kawin ataupun tidak, itu urusan belakangan. Yang penting mereka tahu bahwa ada hubungan khusus katakanlah berpacaran begitu.” kata Asti menjelaskan secara mendetail kepadaku.

“Sekarang, aku tidak bisa jawab. Aku pikir-pikirkan dulu. Kita lebih baik membahas yang lain saja.” Jawabku padanya. “Kalau begitu, aku juga tidak ingin menjawab Abang apakah melanjut atau tidak. Kalau aku, terserah orangtuaku nanti, apa kata mereka. Apakah langsung melamar cari kerja dan mengabdi menjadi guru, ataukah mereka memintaku kuliah lagi. Aku juga tidak tahu.” imbuhnya juga.

Cinta yang Tulus Ikhlas

Setelah pertemuan kami di kantin itu, aku mulai berpikir-pikir yang tidak-tidak tentang perempuan cantik ini. Satu minggu berikutnya kami bertemu lagi. Kami melihat pengumuman lulus atau tidak. Ternyata kami lulus semuanya, kecuali dua teman kami yang tidak mengikuti ujian dinyatakan tidak lulus. Besoknya, sehari sesudah pengumuman kamipun sidik jari dan langsung menerima surat tanda tamat belajar sebagai tanda kenangan tiga tahun belajar sebagai calon guru di Sekolah Pendidikan Guru (SPG).

Usai menerima ijazah atau STTB, aku masih dicari oleh Asti kembali dan terjadi keakraban pertemuan terakhir di antara kami. Kali ini, kami makan siang bersama, dan duduk hanya berdua saja. Usai makan siang, dia bermesraan lagi denganku. Katanya, “Abang, aku ingin pertemuan kita terakhir ini memberikan aku jawaban tentang hubungan kita salama ini. Aku mau mengajak Abang bertemu kepada orangtuaku di Samosir. Kapan ada waktu Abang, kita bisa bersama ke sana?”

Aku katakan kepadanya, bahwa aku belum siap untuk berkenalan dengan orangtuanya. Perjalananku masih panjang, cita-citaku juga menjadi Pastor. Aku mengatakan kepadanya, bahwa pertemuan dengan orangtuanya tidak begitu penting. Tampak wajahnya sedih, bukan main. Asti yang sejak tadi makan terus melirik kepadaku.

Usai makan, dia berani memegang tanganku lagi, dan seakan bermohon meluluskan permintaannya itu. Aku tahu bahwa selama ini dia telah jatuh cinta kepadaku, sementara aku hanya mengganggap dia teman baik yang biasa-biasa saja, tidak lebih dari seorang teman akrab. Dan hanya sebatas itu, aku tidak pernah punya niat mengawininya juga tidak siap kalau dikatakan aku telah pacaran dengan dia.

“Aku hanya berterus terang, sangat mencintai Abang. Bahkan aku tidak ingin kehilangan Abang. Aku tahu siapa diri Abang, juga bagaimana sikap Abang selama ini kepadaku. Dan sebenarnya itulah yang ingin kuperkenalkan kepada orangtuaku. Aku tidak mau kalau Abang menjadi seorang Pastor dan tidak kawin. Terus terang, setelah berkenalan dengan Abang, aku banyak perubahan. Aku telah banyak didewasakan karena bisa berteman baik dengan Abang. Jadi, kalau aku ditanyakan soal cinta. Aku sudah siap, aku tidak ragu, bahkan hidup berkeluarga membentuk satu bahtera keluarga baru, aku sudah siap untuk masuk kehidupan itu…” tutur kata-katanya itu membuatku diam saja. Aku tidak kuasa menjawab ketulusan hatinya padaku. Aku juga tahu, perempuan seperti dia bukanlah wanita biasa. Itu aku akui sendiri kepadanya. Setelah beberapa lama kami terdiam. Aku coba memberikan tanggapan positif thinking saja.

“Asti… aku tahu ketulusan cintamu padaku. Tapi simpanlah itu, aku tidak bisa berjanji apa-apa tentang hubungan baik kita ini. Jodoh ada di tangan Tuhan. Ketahuilah bahwa sampai detik ini, aku masih memilih hidup tidak berkeluarga dan ingin mewujudkan cita-citaku yaitu ingin menjadi Pastor untuk dimiliki oleh banyak orang. Aku ingin mengabdikan diriku untuk Tuhan. Terima kasih atas cintamu kepadaku. Aku menerima cintamu itu sebagai cintakasih yang tidak pernah pudar dalam kehidupanku. Suatu kali aku akan menuliskannya, bila kelak aku telah berhasil mencapai cita-cita.” kataku menjawab dia.

Dan ketika mendengar komitmenku yang teguh itu, dia menangis lagi dan meneteskan air mata. Inilah kedua kalinya aku menyaksikan Asti, wanita cantik dan hebat menangis. Di hadapanku, di depan mataku,aku turut rasakan cintanya yang amat dalam itu. Jantungku saat itu turut berdebar-debar, ada rasa sayang kepadanya, cinta tulus atas harapannya. Sulit mengukirkan kejadian itu. Dia pegang tanganku, dan terakhir memelukku sebagai rasa cinta kasihnya yang tulus. Bila kukenang peristiwa itu, sulit terhapus oleh ingatanku, baik waktu pun dalam perjalanan hidupku.

Aku tahu Asti sangat serius mencintaiku, tetapi seperti bertepuk tangan hanya sebelah. Hal itu terjadi karena tangan di sebelah dirinya yaitu dari pihakku sendiri tidak membalasnya. Aku biarkan dia menangis sendiri agak lama dan sempat dipertanyakan alamat bila dia mau mengirimkan surat kepadaku. Kukatakan padanya, akulah yang akan mengirimkan surat kepadanya.

“Asti yang baik, terima kasih atas cinta tulusmu kepadaku. Ijazah yang telah kita terima dan pegang ini, menjadi saksi membisu di antara kita. Kuharapkan kita saling mendoakan dalam hidup panggilan kita masing-masing. Saling memaafkan bila mana kita pernah saling menyakiti dalam kata-kata. Kita berpisah sekarang sampai waktu yang tidak bisa kita hitung ke depan. Aku yakin Tuhan merestui pilihan kita masing-masing. Biarlah Tuhan menentukan dan menuntun kebaikan kita itu semua, menjadi keharuman hidup yang kita jalani di masa depan!” begitu pesan terakhirku kepadanya.

Saat detik-detik terakhir perpisahan kami, aku melihat Asti itu berulang-ulang menarik nafas dalam-dalam, seakan tidak ingin berpisah denganku. Aku tahu dia telah jatuh cinta kepadaku, tapi sayang aku tahu diri juga dan sadar tidak akan pernah ingin memilikinya. Aku berbeda dengan dirinya, mungkin orangtuanya orang berada dan lebih baik dari keluargaku. Biarlah berpisah demi kebaikan. Tutur kata lagu yang pernah kudengar tahun 80-an, “bukan pertemuan yang kusesali tetapi perpisahanlah yang kutangisi”. Genaplah sudah lagu itu telah terjadi di antara kami berdua.

The End

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun