Mohon tunggu...
Elin Ermelinda
Elin Ermelinda Mohon Tunggu... -

Suka membaca, dan meluangkan waktu 'tuk berbagi lewat tulisan. Kini menetap di negeri seribu beton

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ketika Garuda Terbang Mengantarku

19 Oktober 2015   17:18 Diperbarui: 19 Oktober 2015   18:23 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam menganyam lelap. Bisu dan tenang berkawan mesra. Detak jarum detik terus melaju di atas dinding ruang tamu. Aku coba sejenak menatapnya. Lama aku terdiam. Tetap bisu membelenggu. Tanpa terasa, setetes air mata jatuh. Hati kecil berpekik, ‘aku tidak kalah, setiap insan yang lahir di bumi ini layak menjadi pemenang dalam hidupnya. Sebab, kutahu mujizat itu nyata.

Sebuah syair dari hape genggam itu mengantarku kembali merengkuh malam, /...di saat kutak berdaya, kuasa-Mu yang sempurna//ketika kupercaya, mujizat itu nyata /.

***

Mbay, pagi itu masih dingin sejak semalam. Aku bergegas bangun, ketika ayam berkokok dua kali. Aku bergegas membersihkan diri, lalu mendandan diri seadanya.

Dari balik kain penutup pintu, ayah mendekat. Ibu juga ikut merapat. Meski pagi masih menggurat, terpancar jelas kesedihan tak berhingga.

“Nona, su siap – siap kah?”, kata ayah.

“Su dari tadi, ayah”

“Itu bis su mau jemput”

Aku memeluk sang ayah dengan lekat. Tak terbendung air mata perpisahan yang terpaksa. Mengalir deras. Semestinya, aku harus tinggal dan berlama – lama dengan ayah dan ibu, serta kakak dan adikku selepas kuliah itu Tapi, jalan hidup selalu ada ngarai dan jurang. Toh, rasa kekeluargaan tidak mesti hidup seatap dan makan sepiring nasi, pikirku.

“Nona, jalan baik – baik e, kau pergi sesuai maumu. Ayah dan mama menyertai dengan doa”, bisiknya. Air mata ini semakin deras.

Beberapa saat, bis Sinar Rembulan datang menjemput. Sekali lagi kupeluk ayah dan ibu. Tanpa kata terucap. Tanpa tutur pun berujar. Selain, setangkai doa yang selalu ditanam dalam lubuk hari ini, semoga Tuhan membalas semua kebaikan mereka.

Bagiku, perjalanan adalah air mata, yang membasuh onak duri kehidupan. Ia menetes dan mengalir mengikut parit – parit jiwa yang rapuh. Ia seakan tahu, kehidupan yang sejati dimulai dari tangisan pertama.

Perasaan takut kehilangan kedua orangtua yang kucintai senantiasa menghantu, terlebih sang ayah, sebab keriput tulang pipinya adalah gambaran perjuangan. Tak kenal lelah bekerja keras hingga aku menamatkan sekolah. Saya sayang bapa, kataku dalam hati.

***

Sebuah sore yang tenang. Aku baru saja merebahkan badan di atas kasur kempis. Pekerjaan hari ini di sebuah toko souvenir kota pariwisata sangat melelahkan. Sebuah telepon genggam berdering, berulang – ulang memanggil. Dari seberang sana, terdengar suara, “Elin, bapa su pergi untuk selamanya”. Kutahu itu suara kakakku lelakiku yang sulung.

Tangis ini pecah di kamar kos nan sempit. Perasaan takut kehilangan sang ayah sungguh terjadi. Ini buka ilusi, bukan pula bayangan semata. Ini benar terjadi. Sebuah pesan singkat mendarat lagi di layar nokia itu, “Elin harus kuat dan tabah”.

Sepanjang hari itu, beribu doa yang bisa kupanjatkan dari tanah rantau. Rasa ingin turut mengantar sang ayah ke tempat peristirahatan terakhir pupus tatkala isi dompet tidak cukup. Bersamanya, musnah pula anganku ingin membahagiakanya.

Berada di sebuah kota yang baru, dengan suasana baru tidak selalu menyenangkan. Rindu akan keluarga terus mengusik. Namun mesti semakin belajar untuk menepis. Hanya karena sebuah cita yang belum terwujud. Sejuta pengalaman datang dan menerpa. Pernah makan nasi basi yang dijemur kering dan digoreng dengan minyak bekas. Pernah meneguk bau kaporit dari air kran. Pernah berjalan kaki sejauh lima belas kilometer lantaran tiada ongkos pulang. Semuanya mengenang, dan membatin dalam sanubari. Meski hati menangis, pengalaman – pengalaman itu menyatu menjadi suatu kekuatan penuh arti demi meraih mimpi.

Lambat laun semuanya berlalu. Kepergian ayah bukan titik akhir perjuangan hidupku di tanah orang. Kuretas itu dalam sebuah bingkai mimpi nan indah. Kuingin merengkuh prestasi di negeri orang. Mimpi ini terwujut seturut restu sang ayah. Aku ingin ke luar negeri.

Tidak ada lagi marah dan dengki pada diri. Tiada mengeluh dan mempersalahkan takdir yang belum memihak. Tidak jua protes kepada Sang Penyelenggara hidup ini. Hanya dalam namanya, kutahu, mujizat itu nyata.

Sebuah senja yang senyap datang lagi. Seorang sahabat yang kutemui di depan toko sepatu setahun lalu, mengajakku berbagi cerita. Kucermati setiap alur pengalamannya. Ternyata, ia baru saja kembali dari Singapura.

Hati kecil melonjak. Seakan melompat – lompat kecil dalam rongga dada. Pikirku, semakin terbuka cita – cita bekerja di negeri orang. Singapura tentu tempat yang diidamkan sejak SMA di kota rahim Pancasila. Selain dekat dengan Indonesia, Singapura adalah negara kecil yang kaya dan bersih. Kutahu itu dari guru bapak guru Geografi yang sempat buatku jatuh cinta. Ehmm. Ia pernah bercerita, Singapura itu sejarak kota Ende dengan pulau Ende.

Senyum sumbringah melebar dari bibir tipisku. Sungguh jalan Tuhan selalu ada bagi yang berharap. Mujizat itu begitu nyata ketika kakiku pertama menginjak tangganya, dan Garuda terbang mengantarku ke negeri seribu satu larangan itu.

 

Cerpen Ermelinda Sato

 

The Peak, 25 September 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun