Bagiku, perjalanan adalah air mata, yang membasuh onak duri kehidupan. Ia menetes dan mengalir mengikut parit – parit jiwa yang rapuh. Ia seakan tahu, kehidupan yang sejati dimulai dari tangisan pertama.
Perasaan takut kehilangan kedua orangtua yang kucintai senantiasa menghantu, terlebih sang ayah, sebab keriput tulang pipinya adalah gambaran perjuangan. Tak kenal lelah bekerja keras hingga aku menamatkan sekolah. Saya sayang bapa, kataku dalam hati.
***
Sebuah sore yang tenang. Aku baru saja merebahkan badan di atas kasur kempis. Pekerjaan hari ini di sebuah toko souvenir kota pariwisata sangat melelahkan. Sebuah telepon genggam berdering, berulang – ulang memanggil. Dari seberang sana, terdengar suara, “Elin, bapa su pergi untuk selamanya”. Kutahu itu suara kakakku lelakiku yang sulung.
Tangis ini pecah di kamar kos nan sempit. Perasaan takut kehilangan sang ayah sungguh terjadi. Ini buka ilusi, bukan pula bayangan semata. Ini benar terjadi. Sebuah pesan singkat mendarat lagi di layar nokia itu, “Elin harus kuat dan tabah”.
Sepanjang hari itu, beribu doa yang bisa kupanjatkan dari tanah rantau. Rasa ingin turut mengantar sang ayah ke tempat peristirahatan terakhir pupus tatkala isi dompet tidak cukup. Bersamanya, musnah pula anganku ingin membahagiakanya.
Berada di sebuah kota yang baru, dengan suasana baru tidak selalu menyenangkan. Rindu akan keluarga terus mengusik. Namun mesti semakin belajar untuk menepis. Hanya karena sebuah cita yang belum terwujud. Sejuta pengalaman datang dan menerpa. Pernah makan nasi basi yang dijemur kering dan digoreng dengan minyak bekas. Pernah meneguk bau kaporit dari air kran. Pernah berjalan kaki sejauh lima belas kilometer lantaran tiada ongkos pulang. Semuanya mengenang, dan membatin dalam sanubari. Meski hati menangis, pengalaman – pengalaman itu menyatu menjadi suatu kekuatan penuh arti demi meraih mimpi.
Lambat laun semuanya berlalu. Kepergian ayah bukan titik akhir perjuangan hidupku di tanah orang. Kuretas itu dalam sebuah bingkai mimpi nan indah. Kuingin merengkuh prestasi di negeri orang. Mimpi ini terwujut seturut restu sang ayah. Aku ingin ke luar negeri.
Tidak ada lagi marah dan dengki pada diri. Tiada mengeluh dan mempersalahkan takdir yang belum memihak. Tidak jua protes kepada Sang Penyelenggara hidup ini. Hanya dalam namanya, kutahu, mujizat itu nyata.
Sebuah senja yang senyap datang lagi. Seorang sahabat yang kutemui di depan toko sepatu setahun lalu, mengajakku berbagi cerita. Kucermati setiap alur pengalamannya. Ternyata, ia baru saja kembali dari Singapura.
Hati kecil melonjak. Seakan melompat – lompat kecil dalam rongga dada. Pikirku, semakin terbuka cita – cita bekerja di negeri orang. Singapura tentu tempat yang diidamkan sejak SMA di kota rahim Pancasila. Selain dekat dengan Indonesia, Singapura adalah negara kecil yang kaya dan bersih. Kutahu itu dari guru bapak guru Geografi yang sempat buatku jatuh cinta. Ehmm. Ia pernah bercerita, Singapura itu sejarak kota Ende dengan pulau Ende.