Mohon tunggu...
Elin Moevid
Elin Moevid Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

Hanya seseorang yg sibuk duniawi dan rindu menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kata Mereka: Jadi Buruh Dulu, Sarjana Belakangan!

18 Mei 2024   20:15 Diperbarui: 18 Mei 2024   20:17 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bagi sebagian murid SMA/SMK, pilihan kuliah atau tidak merupakan keputusan yang sulit, baik disebabkan oleh faktor finansial keluarga, kurangnya mengenal potensi diri, dan keinginan diri dan orang tua yang bertentangan. Namun, sebagian yang lain yakin bahwa kuliah adalah momen penting yang harus diraih untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Benarkah kuliah menjamin keberhasilan masa depan mereka? Bisakah mereka yang merupakan lulusan SMA/SMK mendapat pekerjaan di masa sekarang?

Ketimpangan Ilmu, Keahlian, dan Lowongan

Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu sains, bahasa, kesenian, dan olah raga yang didapat di sekolah tak bisa mencakup semua wawasan yang dibutuhkan di dunia kerja. Bahkan bisa dikatakan bahwa kebanyakan ilmu tersebut sebatas teori yang penerapannya hanya sedikit di dunia nyata. Hal ini disebabkan karena kondisi di lapangan cepat sekali berubah, seiring dengan berkembangnya teknologi.

Misalnya saja pada materi Bahasa Indonesia kelas XII tentang menulis surat lamaran kerja. Bagian isi dari surat lamaran ini tidak berubah sejak saya sekolah SMA dulu, yaitu ada salam hormat, kalimat pembuka, perkenalan diri, keterangan lampiran yang disertakan, lalu penutup. Untuk mengimbangi perkembangan jaman, materi ini bisa ditambah variasi dengan menulis surat lamaran via email.

Contoh kecil ketimpangan ilmu dalam kasus ini adalah para murid tahu cara menulis surat lamaran, namun tidak tahu bagaimana mereka bisa menemukan lowongan pekerjaan. Tentu saja wawasan ini bisa didapat dari usaha mandiri dan pengalaman. Misalnya, mencari tahu cara membuat profil di situs pencari kerja, seperti LinkedIn, jobstreet, Glints dan Kitalulus.

Saat para lulusan SMK mencari lowongan pekerjaan, mereka masih memiliki keahlian yang bisa diandalkan dalam melamar, sehingga mereka pun akan mencari pekerjaan yang relevan. Berbeda dengan lulusan SMA, lowongan pekerjaan yang tersedia bersifat umum dan biasanya mensyaratkan kekuatan fisik, kejujuran, ketelitian, kemampuan berbahasa, dan kemampuan mengoperasikan komputer. Tak jarang, para lulusan SMA ini bekerja di sektor yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pengetahuan dan keahlian yang mereka dapat dari sekolah, misalnya saja menjadi karyawan toko retail atau buruh pabrik.

Gelar Dipercaya Membuka Jalan 

Mengenyam pendidikan di universitas membuat para lulusan SMA yang belum memiliki wawasan dan keahlian khusus menjadi memiliki gelar di bidang tertentu. Begitu juga dengan lulusan SMK, memiliki gelar membuat mereka lebih ahli di bidang yang ditekuni. Itulah mengapa menjadi lulusan universitas dipercaya memberikan mereka kesempatan yang lebih luas dalam memperoleh pekerjaan.

Sayangnya, tak semua lulusan SMA/SMK berkesempatan untuk berkuliah. Mereka memilih bekerja karena pilihan itulah yang lebih realistis untuk mereka. Keuntungannya, kini mereka memiliki pengalaman kerja di riwayat hidup, serta wawasan dan keahlian baru.

Problematika Buruh Muda Tanpa Gelar 

Para anak muda yang sudah bekerja ini seringkali berstatus karyawan kontrak, dan memerlukan proses atau kualifikasi tertentu untuk menjadi karyawan tetap. Pengangkatan karyawan tetap tersebut berbeda-beda di setiap perusahaan.

Misalnya, seorang lulusan SMA/SMK mulai bekerja di sebuah industri manufaktur saat berusia 19 tahun. Menurut aturan perusahaan, setelah 3 tahun bekerja sebagai karyawan kontrak, maka dia harus diangkat sebagai karyawan tetap, atau diberhentikan. Jika perusahaan memilih memberhentikan karyawan tersebut, maka dia harus mencari lowongan lagi di usia 22 tahun.

Di usia 22 tahun tersebut, maka kesempatan si karyawan untuk memperoleh pekerjaan terbilang lebih besar karena memiliki pengalaman kerja. Namun, di usia tersebut, dia juga akan bersaing dengan rekan sejawat yang merupakan lulusan universitas. Bisa saja dia mendapatkan pekerjaan tersebut, namun jabatan dan gajinya tidak akan bisa mengalahkan mereka yang merupakan lulusan universitas.

Jika si karyawan tersebut bekerja di industri manufaktur lain, dan mengalami hal yang serupa, maka dia akan mencari lowongan lagi di usia 25 tahun. Pada usia tersebut, sayangnya di Indonesia, seringnya sudah menjadi usia maksimal bagi seorang lulusan SMA untuk melamar pekerjaan, tanpa melihat riwayat pengalamannya. Terdengar tidak adil, bukan?

Kuliah Kelas Karyawan Menjadi Harapan

Menurut pengakuan rekan-rekan saya, yang merupakan lulusan SMA/SMK, mereka memilih untuk bekerja sambil berkuliah. Kuliah yang diambil adalah kelas reguler B atau kelas karyawan. Kelas ini biasanya diadakan di malam hari atau hanya hari sabtu dan minggu. 

Dengan mengikuti kelas ini, mereka berharap jika suatu hari nanti mereka harus mencari lowongan pekerjaan baru, mereka sudah memiliki pengalaman sekaligus gelar sarjana. Bahkan jika mereka ternyata diangkat menjadi karyawan tetap, mereka bisa mengajukan kenaikan golongan dengan menyerahkan ijazah S1. Pilihan ini dianggap yang paling aman bagi mereka yang merupakan buruh lulusan SMA/SMK.

Beberapa universitas swasta yang menyediakan kelas karyawan ini juga ada yang menawarkan biaya kuliah yang lebih rendah dari biaya UKT di universitas negeri. Meskipun memang akreditasi kampus swasta tercatat masih di bawah akreditasi universitas negeri. Namun, jika seseorang sudah memiliki pengalaman kerja yang relevan, ditambah gelar sarjana, maka kualifikasinya sudah cukup mumpuni untuk bersaing di dunia kerja.

Ternyata ide menjadi buruh dulu sembari menabung, lalu belajar mengejar gelar bisa menjadi opsi bagi lulusan SMA/SMK yang masih ragu menentukan masa depannya. Kalau menurut Anda apakah ide ini terdengar sulit, atau solutif? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun