pelanggan dalam proses penciptaan produk dan layanan yang hendak ditawarkan.
Dalam banyak wacana pemasaran, sering disebutkan bahwa setiap perusahaan harus selalu berfokus pada kebutuhan dan keinginanDalam kenyataannya, pernyataan semacam di atas tak sepenuhnya benar. Banyak pelanggan yang justru tidak sadar atau tidak tahu pasti apa yang dibutuhkannya.
Contohnya dalam penemuan produk iPod. Produk ini dicipatkan tidak dari survei pasar atau survei kebutuhan pelanggan. Namun murni dari ketajaman visi para pengelola Apple, perusahaan yang memproduksi iPod.
Contoh lain adalah penemuan walkman oleh Sony pada tahun 70-an yang fenomenal itu. Produk ini juga lahir tanpa didahului oleh riset konsumen. Namun idenya murni lahir dari para petinggi Sony pada saat itu; yang mencoba mendahului selera zaman.
Contoh-contoh diatas mengindikasikan banyak produk baru lahir dari visi dan ketajaman para pengelola perusahaan dalam mencium pergerakan pasar.Â
Dan visi produk baru ini sering tidak bisa diungkapkan melalui survei kebutuhan pelanggan. Hal ini karena sering pelanggan tidak sadar dengan kebutuhannya.Â
Hal inilah yang menyebabkan riset konsumen untuk menggali ide tentang produk baru sering tidak berhasil dengan baik. Sebabnya, dalam survei itu, para konsumen tidak bisa mengungkapkan kebutuhan produknya dengan jelas (hidden latent needs yang tidak terungkap).
Sebaliknya, riset-riset kebutuhan konsumen yang tidak cermat bisa menuai kegagalan. Contohnya adalah dalam kasus peluncuran produk baru Coca Cola.
Dalam uji tes konsumen, para responden mengatakan suka dengan rasa coca cola yang baru ini. Berdasar hasil ini maka dilakukan peluncuran produk coke baru secara besaran-besaran.
Namun apa daya ternyata produk ini gagal total di pasaran. Diduga kegagalan ini disebabkan karena riset itu gagal menangkap hubungan emosi yang kuat antara pelanggan dengan produk coca-cola yang lama.Â
Hubungan emosi yang kuat ini dengan produk lama ini membuat mereka enggan mencoba dan membeli produk coca-cola yang baru meski dalam uji tes disimpulkan rasanya lebih enak.
Menyadari keterbatasan riset tradisional yang lebih mengandalkan hasil kuantitatif, kini makin diasadari pentingnya riset kualitatif yang lebih mendalam.Â
Riset ini sering disebut juga sebagai riset etnografi dimana para peneliti mendalami kehidupan nyata para pelanggan secara riil dalam waktu yang cukup lama (bisa 2 hingga 6 bulan).
Melalui seting penelitian secara real itu, diharapkan akan bisa diungkap kebutuhan laten pelanggan yang gagal ditangkap melalui alat penelitian tradisional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H