Pekerjaan Rumah (PR) telah menjadi bagian dari kehidupan siswa bahkan sejak dari tingkat pendidikan dasar. Siswa pulang ke rumah dengan daftar tugas yang harus dikerjakan di rumah.Â
Tak jarang, tugas yang tidak diselesaikan di kelas juga ikut bertengger di daftar PR siswa. Selain itu, dalam sehari siswa bisa mempunyai PR untuk beberapa mata pelajaran dan jumlahnya dapat mencapai berlembar-lembar dan banyak hal untuk dihafalkan. Namun, apakah semakin banyak PR siswa akan makin banyak belajar?
Di era digital, semua informasi ada dalam genggaman dan dapat diperoleh dengan mudah, termasuk materi yang dipelajari siswa.Â
Untuk PR mata pelajaran tentu, siswa dapat dengan mudahnya mendapatkan jawaban hanya dengan googling. Bahkan, ada juga akun atau situs belajar yang menyediakan fitur tanya-jawab.Â
Artinya, siswa dapat menanyakan PR-nya sesimpel mengetikkan pertanyaan di situs tersebut lalu akan direspon oleh pengguna lain atau tim penyedia layanan. Meskipun ini juga butuh effort tapi pencarian jawaban di situs daring bagi siswa yang ingin cepat dan enggan berpikir keras mengerjakan PR, tentu sangat memudahkan.Â
Jadi, jawaban PR siswa bisa merupakan hasil pencarian daring tanpa proses pemikiran yang kritis sehingga tidak menjamin jawaban tersebut mencerminkan tingkat pemahaman siswa.
Selain itu, tidak sedikit siswa yang belajar bersama tutor privat tidak hanya untuk membantu belajar tetapi juga membantu mengerjakan tugas serta PR.Â
Tutor privat tentu menanggung beban untuk membuat siswa mendapatkan nilai baik. Kalau sudah belajar dengan tutor tetapi siswa mendapat nilai buruk dan PR tidak tuntas dikerjakan, tentu kemampuan tutor dipertanyakan oleh orang tua.Â
Oleh karena itu, tidak jarang siswa sangat terbantu dalam menyelesaikan PR karena mengerjakannya bersama tutor. Tentu tidak ada masalah dengan hal ini tetapi bagaimana jika tutor hanya memastikan bahwa PR dapat diselesaikan tanpa memperhatikan pemahaman siswa?Â
Bagi para guru, ada kalanya nilai PR siswa sangat baik tetapi siswa tersebut clueless ketika ditanya di kelas. Lalu, apa gunanya memberikan PR jika tidak membuat siswa lebih paham? Hal serupa juga dapat terjadi ketika siswa mengerjakan PR didampingi oleh orang tua.
Tidak hanya tentang cara menuntaskan PR, tujuan  dan kualitas PR yang diberikan guru juga perlu dikritisi. Guru harus dapat mempertanggungjawabkan PR yang diberikannya, tidak hanya sekedar menumpuk lembar jawaban PR begitu saja di meja guru. Namun, guru harus memberikan umpan balik yang membangun dan  tepat waktu agar siswa dapat belajar dari umpan balik tersebut.Â
Selain itu, sebelum memberikan PR, tentu guru harus mempertimbangkan tujuannya, misalkan PR untuk mengulang materi yang dijelaskan di kelas, untuk mempersiapkan topik selanjutnya (biasanya tugas membaca), atau untuk memperdalam pemahaman?Â
Hal lainnya adalah mempertimbangkan kesiapan dan kemampuan siswa mengerjakan PR itu. Kalau diberi PR sedangkan dalam proses belajar di kelas, guru tidak mengetahui sejauh mana kemampuan dan pemahaman siswa, bisa jadi siswa akan kesulitan mengerjakan sehingga tugas tersebut tidak membuat siswa bersemangat mengerjakannya. Belum lagi kuantitas soal PR-nya.Â
Bagaimana mungkin siswa dapat mengerjakan PR kalau ketika di kelas saja mereka belum sepenuhnya paham terhadap yang diajarkan? Di samping itu, bagaimana mutu PR-nya? Kalau jawabannya dapat dengan mudah dicari di sumber daring atau menghafalkan hal-hal yang tidak esensial, apakah dapat dikatakan PR tersebut berkualitas?
Pekerjaan Rumah (PR) bukanlah suatu hal yang buruk tetapi perlu dipikirkan dengan cermat tujuan, porsi, kualitas, dan umpan baliknya. Jika tidak dipikirkan dengan matang, maka semakin banyak PR tidak menjamin siswa belajar lebih banyak dan lebih baik. Sebaliknya, PR malah membebani siswa, bukannya memotivasi siswa untuk belajar.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H