Mohon tunggu...
Elina A. Kharisma
Elina A. Kharisma Mohon Tunggu... Guru - Berbagi hal baik dengan menulis

Seorang kutu buku dan penikmat musik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengapa di Sekolah (Berasrama) Rentan Terjadi Kekerasan?

18 September 2022   20:31 Diperbarui: 20 September 2022   09:45 913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kekerasan di sekolah. (sumber: HUTTERSTOCK via kompas.com)

Sekolah sebagai institusi pendidikan sejatinya menjadi ruang aman bagi para siswa, tetapi masih segar diingatkan kita akhir-akhir ini bermunculan berita tentang kekerasan oleh siswa kepada temannya termasuk yang terjadi di sekolah berasrama hingga korbannya meregang nyawa. 

Lalu, apa saja hal-hal yang perlu dilakukan oleh pihak sekolah untuk mencegah terjadi kasus kekerasan terhadap para siswa?

Salah satu penyebab terjadinya kekerasan dan perundungan di sekolah adalah senioritas. Para kakak kelas mengganggap adik kelas lebih inferior dan merasa perlu mendidik adik kelas, termasuk dengan cara yang keras, semena-mena, dan tidak logis. 

Hal ini dapat dilihat bahkan dari hari pertama siswa baru masuk sekolah, yaitu pada Masa Orientasi Sekolah (MOS). Bertahun-tahun MOS identik dengan peloncoan terhadap siswa baru dengan alasan membentuk mental. 

Namun, bukan mental yang siap menghadapi lembaran baru di sekolah dan menjadi antusias belajar, para siswa baru tidak jarang mendapat kekerasan fisik dan verbal. Siswa senior mengganggap hal ini wajar karena mereka pun dulu mengalaminya. 

Oleh karena itu, pihak pimpinan sekolah harus mengambil langkah untuk memutus mata rantai senioritas. 

Budaya yang kental dengan senioritas harus diganti dengan yang membuat siswa saling mendukung dan mengasihi sehingga sekolah menjadi ruang aman, khususnya bagi para junior. 

Beberapa tahun belakangan, sudah diserukan MOS yang ramah, tanpa pelocoan tetapi mengandung kegiatan yang memang mempersiapkan siswa baru untuk lebih mengenal sekolah.  

Akan tetapi, mengubah visi-misi MOS ini tidaklah cukup untuk meminimalisasi kasus kekerasan, jika di hal-hal lain tetap ada kesempatan bagi para senior untuk menindas juniornya, misalnya saat kegiatan kegiatan ekstrakuriker. 

Oleh karena itu, pimpinan sekolah harus memastikan bahwa tidak ada celah bagi siswa tingkat atas untuk melakukan perundungan terhadap adik kelasnya.

Selain masalah senioritas, kekerasan dalam lingkungan sekolah juga erat kaitannya dengan minimnya pengawasan oleh pihak sekolah. 

Bahkan, siswa yang menempuh pendidikan di sekolah berasrama pun tidak bisa dipastikan bahwa pengurus asrama dapat selalu mengawasi mereka selama 24 jam. 

Untuk itu, para siswa harus diajari untuk segera lapor pada pihak sekolah jika mengalami atau mengetahui adanya tindak kekerasan atau tekanan, baik dari sesama siswa atau pun pihak lain di sekolah.  

Jika terjadi kasus kekerasan, maka sekolah harus  berpihak pada korban dan segera mengkomunikasikannya dengan orang tua secara transparan, bukannya menutupi-nutupi dengan dalih menjaga nama baik institusi.

Agar siswa berani lapor kepada pihak sekolah ketika mengetahui atau menjadi korban kekerasan di sekolah, sekolah perlu menyosialisasikan hal-hal yang tergolong kekerasan dan yang tidak. 

Tidak jarang ada siswa yang tidak melapor karena mereka tidak tahu bahwa mereka telah menjadi korban kekerasan atau yang mereka saksikan termasuk perundungan. 

Selain itu, pihak sekolah harus meyakinkan bahwa akan melindungi pelapor. Pihak sekolah juga perlu menegaskan bahwa pelaku kekerasan akan diproses dengan semestinya secara adil dan tidak tebang pilih. 

Jika hal-hal ini dilakukan sejak awal tahun ajaran dan diterapkan secara konsisten serta diikuti oleh semua pihak, maka akan terlihat bahwa sekolah memang bertekad untuk membuat sekolah sebagai ruang yang aman.

Yang terakhir, pendidikan karakter perlu diimplementasikan semaksimal mungkin. Sekolah tidak hanya menitikberatkan kegiatan yang membantu siswa meraih prestasi akademis, tetapi juga melatih siswa mengembangkan karakter yang mulia. 

Siswa tidak hanya diberikan reward atas nilai yang gemilang tetapi siswa yang karakternya baik juga perlu diberikan penghargaan dan pujian. 

Selain itu, para guru juga harus menyadari bahwa pengembangan karakter siswa tidak hanya menjadi tugas guru agama, bimbingan konseling, dan PKn, tetapi juga tanggung jawab semua guru. Hal yang terpenting dalam pendidikan karakter adalah guru harus menjadi teladan bagi para siswa. 

Maka, guru yang melakukan pelecehan, kekerasan, abai terhadap siswa, intoleran, dan tidak berintegritas tentu tidak layak untuk mendidik generasi muda.

Sekolah adalah ruang aman bagi semua pemangku kepentingan di institusi tersebut. Namun, kenyataan tidak demikian, termasuk di sekolah yang konon berbasis agama dan berasrama yang digadang-gadang dapat mengawasi dan mendidik siswa dengan baik. 

Oleh karena itu, pihak sekolah harus berupaya untuk menghilangkan budaya senioritas, memberikan sosialisasi pada siswa tentang kekerasan di sekolah, dan mengembangkan karakter siswa dengan pendidikan karakter yang mumpuni. Semoga sekolah benar-benar menjadi salah satu tempat yang bebas kekerasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun