Aku menarik nafas panjang sebagai tanda kelegaan setelah hari amat yang melelahkan. Ini bukan tahun pertama aku mengajar tetapi masih saja mengalami hari yang berat di sekolah. Bagiku, menyiapkan materi pelajaran jauh lebih mudah dibandingkan dengan mengurus dua puluh satu anak di kelas. Aku mengelus dada karena ulah seorang anak yang belum genap dua belas tahun umurnya.
"Dinda, tinggal sepuluh menit lagi. Kenapa baru sampai pertanyaan nomor tiga?" tanyaku menjelang akhir jam pelajaran pertama.
Dinda yang sedari tadi memandang ke langit-langit kelas terkejut mendengarkan pertanyaanku lalu buru-buru meraih pensilnya. Dalam sekejap dia sudah kembali menatap kertas yang ada di hadapannya.
"Apakah ada yang kamu belum mengerti?"
"Iya. Saya ngerti,Bu!" jawabnya dengan ketus tanpa melihatku.
Aku terhenyak melihatnya bersikap judeskepadaku.
"Dinda, bukan begitu caranya berbicara kepada guru," kataku tegas. Namun, tak kudengar sepatah katapun terucap dari gadis yang mulai beranjak remaja ini.
Aku terdiam. Dinda tak pernah begitu sebelumnya.
***
Saat jam istirahat tiba, sekelompok siswa mengadu padaku kalau Dinda berkata kasar  bahkan memukul salah satu dari mereka.
"Dinda, apakah itu benar?" tanyaku sambil memegang bahu Dinda yang tertunduk lesu di depanku.