Ketidakhadirannya di kelas membuat beban mengajarku terasa lebih ringan dan kelas terasa lebih tenang. Hal ini pun disadari oleh murid-muridku yang lain.
"Ibu, kelas kita enak, ya, kalau nggakada Dinda," celetuk salah seorang murid yang biasanya  terlibat keributan dengan Dinda.
"Iya. Dinda nggakada, jadi nggakada yang rese," seorang murid yang lain menimpali.
Karena semakin banyak yang ikut berkomentar, aku pun terpaksa menghentikan pelajaran lalu menasehati mereka karena Dinda tidak pernah seperti itu sebelumnya.
***
Aku pernah mencoba menanyakan kepada Dinda apa yang membuatnya menjadi sering murung, mudah marah, dan sulit konsentrasi di kelas. Dia cuma menjawab kalau dia lelah. Memang pada saat itu, dia sedang menyiapkan tarian untuk lomba tingkat provinsi. Hampir setiap pulang sekolah dia harus berlatih hingga menjelang petang. Meski latihannya keras, namun dia terlihat menikmatinya. Gadis berambut panjang dan ikal itu memang berbakat menari dan dia selalu ingin jadi yang terbaik. Itulah Dinda yang aku kenal. Dinda yang selalu antusias, ceria, dan menyenangkan.
Aku juga telah melayangkan sebuah emailkepada ibunya untuk memberi tahu perubahan sikap dan penurunan nilainya. Beliaupun membalas pesanku itu dan mengatakan bahwa akan membantu Dinda belajar dan memastikan anaknya cukup istirahat agar bisa belajar dengan baik di kelas.
Aku pun lega karena aku ingin Dinda kembali menjadi Dinda yang cerdas dan menjadi teman yang baik untuk semua anak di kelas.
***
Hari-hari pun berlalu. Sepertinya aku mulai terbiasa menghadapi dinamika di kelas. Meski terkadang harus menghela nafas panjang lalu memohon pada Yang Maha Kuasa untuk diberikan kesabaran ekstra. Kalau ada hal-hal yang membuat pekerjaanku sebagai guru menjadi lebih berat, pasti Dinda terlibat di dalamnya.
Sampai pada suatu sore, aku menerima email dari ibu Dinda yang seketika membuat bumi serasa berhenti berputar.