Mohon tunggu...
Elina A. Kharisma
Elina A. Kharisma Mohon Tunggu... Guru - Berbagi hal baik dengan menulis

Seorang kutu buku dan penikmat musik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kurangnya Gerakan Literasi di Sekolah

13 Februari 2018   11:51 Diperbarui: 13 Februari 2018   17:25 2742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Menanggapi masih rendahnya minat baca anak, pemerintah mencanangkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Program ini diharapkan mampu menumbuhkan minta baca pada para siswa juga untuk membangun iklim literasi di sekolah. 

Tidak hanya fokus pada kegiatan literasi, GLS juga menyoroti sarana dan prasana yang mendukung berlangsungnya program ini. Sayangnya, belum semua sekolah mampu menjalankan GLS sesuai dengan pedoman yang diberikan. Mengapa demikian?

1. Tenaga Kerja Yang Kurang Terlatih

Berjalannya GLS tidak lepas dari tenaga kerja di sekolah yang erat kaitannya dengan program ini yaitu para guru dan pustawakan. Mereka berperan penting dalam kelangsungan program literasi ini. Mulai dari mendampingi anak membaca, membuat kegiatan seputar literasi yang menarik, hingga mengelola perpustakaan dan sudut baca di kelas ataupun area lain di sekolah. 

Sayangnya, banyak guru dan pustakawan yang minim pengetahuan dan keterampilan sehingga mereka tidak mampu menjalankan perannya dengan baik. Selain itu, tidak sedikit guru yang tidak suka membaca dan kurang memahami pentingnya gerakan literasi sehingga mereka pun enggan untuk berkontribusi secara maksimal dalam program literasi ini.

2. Sarana Dan Prasarana Yang Kurang Memadai

Untuk mendukung GLS, ada beberapa sarana yang diperlukan yaitu perpustakaan dan Sudut Baca (Reading Corner). Dalam panduan GLS, Sudut Baca tidak hanya ada di dalam kelas, tetapi juga di area-area lain bahan bacaan dapat diakses dengan mudah oleh anggota komunitas itu. Memang ada juga sekolah yang sudah diperlengkapi dengan teknologi modern, akan tetapi masih banyak juga sekolah-sekolah yang mempunyai perpustakaan dengan kondisi yang tidak layak. 

Tata ruang perpustakaan juga masih banyak yang belum diatur dengan baik sehingga suasana di perpustakaan tidak mengundang para siswa untuk meluangkan waktu untuk membaca di situ. 

Selain itu, Sudut Baca di kelas juga menemui kendala mulai dari ruang kelas yang sempit, tidak tersedia buku, hingga tidak adanya rak buku untuk memajang koleksi buku. Jika untuk membuat Sudut Baca di kelas saja susah, bagaimana mungkin sekolah akan mampu membuat area baca lain di seluruh sekolah?

3. Bahan Bacaan Yang Terbatas

Dalam sebuah program literasi tentu ketersediaan bahan bacaan memberikan banyak pengaruh terhadap jalannya program tersebut. Meskipun banyak sekolah sudah mempunyai perpustakaan, namun belum semua perpustakaan mempunyai koleksi bahan bacaan yang berlimpah. Kebanyakan koleksi perpustakaan didominasi oleh buku paket pelajaran, sedangkan bahan bacaan lain masih sangat terbatas. 

Hal ini juga menjadi kendala dalam mewujudkan Sudut Baca di sekolah. Jika koleksi buku di perpustakaan sedikit, bagaimana mungkin buku-buku itu diambil untuk Sudut Baca di kelas dan area sekolah lainnya? Keterbatasan ini juga menghambat kegiatan membaca lainnya misalnya untuk membaca mandiri siswa dan membaca lantang (read aloud). 

Keterbatasan buku ini juga erat kaitannya dengan minimnya penerbitan buku anak-anak yang bermutu. Para siswa dan orangtua kesulitan menemukan buku bacaan yang kualitasnya baik untuk kegiatan membaca mandiri karena tidak banyak penerbit yang menerbitkan buku anak-anak. Bagaimana mungkin sebuah program literasi dapat berjalan dengan optimal jika buku-buku yang baik kualitasnya sulit diperoleh?

4. Peran Orangtua Masih Minim

Gerakan Literasi Sekolah juga harus didukung oleh para orangtua. Akan tetapi, tidak semua orangtua membarikan dukungan sebagaimana mestinya baik karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman, maupun kondisi keuangan. Ada juga orangtua yang abai terhadap pentingnya membiasakan membacakan pada anak karena tingkat kesibukan yang tinggi. 

Hal ini mengakibatkan tidak adanya iklim literasi di rumah karena ada keluarga yang tidak membiasakan anak membaca, tidak pernah membacakan buku untuk anak, hingga tidak adanya bahan bacaan. Apabila hal ini terjadi, maka GLS tidak berjalan dengan baik karena orangtua belum mampu memberikan dukungan secara maksimal. Padahal, dalam pedoman GLS, orangtua termasuk dalam pihak yang harus berpartisi secara aktif.

Gerakan Literasi Sekolah sseharusnya disambut dengan sukacita karena memfasilitasi generasi muda tidak hanya agar suka membaca, tetapi juga mendapatnya segudang manfaat dari membaca. 

Namun, kenyataannya masih ditemukan kendala-kendala. Untuk itu, pemerintah dan pihak sekolah harus bahu membahu mengatasi kendalanya yaitu dengan melatih tenaga kerja baik pustawakan maupun guru agar menyadari pentingnya GLS serta terampil menjalankan perannya, meningkatkan sarana dan prasarana pendukung, serta mengupayakan ketersediaan bahan bacaan bermutu baik untuk koleksi perpustakaan maupun untuk membaca mandiri anak-anak. 

Penting juga mensosialiasasikan program ini pada para orangtua murid agar mereka mampu berkontribusi dengan sebagaimana mestinya. Semoga kendala-kendala tersebut segera diatasi oleh pihak-pihak yang berwenang sehingga para peserta didik dapat merasakan manfaat dari program ini. Salam Literasi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun