Membaca lantang (read aloud) dipercaya sebagai kegiatan yang dapat menumbuhkan minta baca pada anak-anak. Selain menumbuhkan kecintaan membaca, kegiatan ini juga bagus untuk latihan menyimak dan menjadi kesempatan yang baik bagi guru untuk mendiskusikan banyak hal melalui bahan bacaan yang dibacakan. Karena mempunyai banyak manfaat, kegiatan membaca lantang masuk dalam rangkaian kegiatan Gerakan Literasi Sekolah.Â
Sayangnya, tidak semua guru membacakan buku untuk murid-muridnya. Beberapa guru dari berbagai sekolah yang saya temui, mengaku enggan membaca lantang. Apa yang membuat para guru melewatkan kegiatan yang kaya manfaat ini?
1. Kurang Bahan Bacaan
Tidak sedikit guru yang mengeluhkan sangat terbatasnya bahan bacaan. Guru kesulitan mendapat buku cerita atau bahan bacaan yang lain lantaran ketersediaan buku di Perpustakaan tidak memadai. Banyak Perpustakaan sekolah yang koleksinya masih terbatas pada buku paket pelajaran, sedangkan bahan bacaan lain seperti buku cerita untuk anak-anak sangat minim. Belum lagi, para guru harus bergantian menggunakannnya dengan kelas lain. Oleh karena itu, kegiatan membaca lantang tidak dapat berjalan dengan maksimal akibat minim akses buku bacaan.
2. Jumlah Murid Banyak
Banyak guru mengaku enggan untuk membaca lantang karena jumlah murid yang terlalu banyak. Mereka takut tidak akan mampu menguasai para pendengar, yaitu para murid. Mereka meyakini bahwa semakin banyak jumlah anak, maka kegiatan membaca lantang akan semakin sulit. Dibandingkan mengatasi kesulitan ini, banyak guru memilih untuk tidak membaca lantang.Â
3. Murid Bosan
Membaca lantang merupakan hal yang sederhana karena kelihatannya memang sekedar membacakan buku untuk anak-anak. Pada kenyataannya tidak sesederhana itu. Jika pilihan bahan bacaan kurang menarik pendengar dan cara membacakannya "biasa-biasa" saja, maka para murid, selaku pendengar akan merasa bosan. Jika mereka bosan, tentu mereka akan kurang memperhatikan bahkan melakukan hal yang menyusahkan guru. Apalagi jika jumlah siswa dalam kelas cukup banyak, tentu semakin banyak kemungkinan adanya siswa yang merasa bosan.Â
4. Tidak Punya Waktu
Banyak guru yang mengeluhkan tidak adanya waktu untuk membaca lantang. Meskipun ada alokasi waktu seperti yang tercantum dalam Gerakan Literasi Sekolah, para guru menilai tidak cukup untuk membaca lantang. Untuk menuntaskan kegiatan pembelajaran saja, harus pintar-pintar mengatur waktu, apalagi jika harus menyisihkannya untuk membacakan buku? Tenaga pengajar pun memilih menggunakan waktu untuk mengejar target sesuai silabus dibandingkan untuk kegiatan lain, termasuk kegiatan membaca lantang.
5. Kondisi Kelas Kurang Memadai
Meskipun setiap kelas dianjurkan untuk mempunyai Sudut Baca (Reading Corner), pada kenyataannya tidak semua sekolah demikian. Keterbatasn buku menjadi kendala untuk membuat Sudut Baca. Selain itu, tidak ada ruang yang cukup bagi guru untuk mengatur ruangan agar peserta didik mempunyai area khusus untuk membaca buku atau mendengarkan pembacaan buku.Â
Apalagi jika membacakan buku bergambar, guru harus berkeliling untuk memastikan bahwa semua siswa dapat melihat ilustrasi buku itu. Tentu akan lebih mudah bagi guru jika membacakan buku di tempat sudah tersedia, misalnya ada rak buku dan tikar atau karpet sehingga lebih mudah mengatur para siswa dibandingkan jika siswa duduk di tempat duduk masing-masing. Karena terkendala fasilitas, guru pun memilih untuk menghindari kegiatan ini.
Sungguh disayangkan ketika para guru enggan untuk membaca lantang bagi para muridnya mengingat kegiatan ini membarikan banyak manfaat. Bahkan ketika pemerintah sudah memasukkannya dalam rangkaian Gerakan Literasi Sekolah. Namun, keengganan yang beralasan ini jug aperlu diperhatikan. Para guru tidak cukup mengetahui bahwa membaca lantang seharusnya dilakukan di kelas, tetapi juga perlu mengetahui strategi-strategi yang tepat untuk membuat kegiatan ini lebih menarik sehingga anak-anak tidak merasa bosan bahkan ketika dilakukan di kelas dengan jumlah murid yang banyak.Â
Tenaga pendidik juga perlu tahu cara mengintegraasikan kegiatan ini dengan mata pelajaran atau kegiatan lain sehingag tetap bisa melakukannya walaupun waktu terbatas. Terakhir, pihak sekolah juga perlu memperhatikan ketersediaan bahan bacaan sehingga kegiatan ini dapat berlangsung dengan baik.
Semoga para guru punya inisiatif untuk menggali lebih dalam tentang kegiatan ini atau pihak sekolah  bahkan pemerintah membuat program pelatihan agar para guru terampil untuk melakukan kegiatan membaca lantang. Jika para guru knowledgeabledan resourcefultentu mereka tidak takut membacakan lantang. Semangat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H