Tentu banyak yang sudah mengetahui bahwa minat baca di Indonesia masih sangat rendah. Sebuah studi mengatakan bahwa Indonesia masuk peringkat ke-60 dari 61 negara*. Sangat memprihatikankan karena Indonesia hanya unggul atas Botswana. Mengapa bisa demikian? Setelah saya berkecimpung di kegiatan sosial yang bertujuan menumbuhkan minat baca pada anak, berdiskusi bersama orang-orang yang peduli akan membaca buku dan sastra, saya pun mempunyai gambaran tentang hal-hal yang membuat minat baca di Indonesia rendah, khususnya pada anak-anak. Berikut adalah beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya minat baca pada anak-anak:
1. Kurangnya Perpustakaan Umum
Di Indonesia, lebih mudah menemukan pusat perbelanjaan daripada perpustakaan umum. Perpustakaan yang mempunyai fasilitas memadai dan koleksi buku yang bagus biasanya ada di perguruan-perguruan tinggi atau institusi tertentu yang hanya bisa diakses oleh kalangan terbatas. Sedangkan perpustakaan sekolah, mulai dari SD sampai SMA kebanyakan dijejali dengan buku-buku pelajaran yang kebanyakan sudah usang. Padahal seharusnya perpustakaan sekolah bisa menjadi tempat anak-anak memperoleh buku bacaan yang bermutu tidak hanya buku pelajaran. Perpustakaan tidak menjadi tempat yang menarik untuk dikunjungi saat jam sekolah. Tidak heran, jika anak-anak Indonesia lebih familiar untuk menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan daripada mengunjungi perpustakaan. Mereka pun menjadi minim akses buku bacaan yang menarik.
2. Membaca Buku = Membaca Buku Pelajaran
Sebagian besar pengajaran di kelas menggunakan buku pegangan yang wajib digunakan oleh semua anak. Kegiatan membaca yang dilakukan di kelas sebatas membaca untuk memahami konsep mata pelajaran tertentu yang sedang diajarkan atau untuk persiapan ulangan. Jarang sekali ada kegiatan membaca untuk memberikan kesenangan atau menghibur mereka. Misalkan membaca buku-buku cerita, novel, atau buku-buku lain yang menarik untuk anak-anak. Hal ini memberikan suatu kesan bahwa membaca buku adalah kegiatan membaca buku pelajaran yang bagi banyak anak-anak kurang mengasyikkan. Mereka pun jadi tidak bersemangat membaca.
3. Minim Kegiatan Membaca
Banyak sekolah-sekolah yang kurang memperhatikan pentingnya kegiatan membaca buku (dan sastra) hingga muncullah program membaca 15 menit yang didesain oleh pemerintah. Sayangnya, tidak semua anak akan langsung berminat membaca meskipun ada setumpuk buku bacaan di hadapan mereka. Oleh karena itu, sekolah seharusnya mengadakan kegiatan yang memotivasi para murid untuk membaca, misalnya adalah dengan membacakan buku untuk mereka (read-aloud).
Tanpa dibacakan, maka anak-anak tidak tahu bahwa buku-buku itu menarik. Namun, tidak sedikit guru yang enggan membacakan buku (read -aloud) untuk anak-anak karena jumlah peserta didik yang mereka ajar terlampau banyak. Hal ini sangat disayangkan karena jika mengetahui strategi pembacaan buku yang tepat, maka kendala itu bisa diatasi. Untuk itu, perlu adanya sosialisasi kepada para guru tentang penumbuhan minat baca pada anak-anak dengan cara yang efektif dan menyenangkan.
4. Kebiasaan Dalam Keluarga
Tahukah Anda jika di rumah anak-anak melihat orangtua atau orang dewasa lain menikmati kegiatan membaca, maka mereka akan lebih termotivasi untuk membaca?** Artinya, anak-anak membutuhkan figur yang dapat menjadi contoh yang menunjukkan bahwa membaca itu penting dan menyenangkan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa di rumah anak-anak kebanyakan melihat oran tua melakukan kegiatan lain daripada membaca, seperti menyibukkan diri dengan gadget, televisi, maupun perangkat elektronik lainnya.
Selain itu, membacakan buku (read-aloud) oleh orangtua kepada anak-anak juga tidak menjadi kebiasaan dari sebagian besar keluarga di Indonesia. Padahal selain untuk menumbuhkan kecintaan membaca, kegiatan ini juga baik untuk mendekatkan hubungan orangtua dan anak-anak dengan cara yang menyenangkan. Singkatnya, di dalam keluarga, minim figur yang gemar membaca dan yang membudayakan membaca.