Stereotip guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, bukanlah pengakuan atau penghargaan biasa atau sekedar basa-basi semata, dalam kenyataannya memang benar adanya.
Secara hukum guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa belum ada di negera hukum Indonesia. Sehingga kata stereotip guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang kesannya agak negatif menjadi paradoks atau fenomena karakter dan kehormatan guru di Indonesia.
Jasa dan keberdaan guru dalam mendidik warga negara suatu negara besar seperti Indonesia sangat diperlukan untuk meraih kemajuan bukan saja dalam kualitas pendidikan tetapi juga moral dan karakter pendidiknya, yang pada akhirnya menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang berkualitas dan diakui dunia.
Dengan demikian bangsa yang besar ini memerlukan para guru yang memiliki integiritas tinggi (excellent integrity teachers) atau guru yang mengajar dengan hati yang bersih dan murni serta berpengetahuan hikmat yang benar.
Kondisi ini setidaknya dapat didalami lebih jauh di Kawasan Indonesia bagian timur termasuk Papua, Maluku dan NTT, merupakan kawasan yang mengalami perkembangan pendidikan terendah di seluruh Indonesia. Untuk itu diperlukan usaha yang pintar dan tepat guna agar lebih efektif dalam menjangkau daerah yang sebagian besar terdiri dari daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T).
Hal ini diperparah oleh kondisi keterbatasan ekonomi, transportasi laut dan udara, serta kurangnya kualitas guru, dan keadaan kesehatan masyarakatnya yang masih tertinggal.
Oleh sebab itu, sebagai para ilmuan sains fisika sederhana dari timur, kami harus dapat berkontribusi buat Negara Indonesia yang tercinta ini.
Dalam berkontribusi dalam dunia pendidikan yang rumit dan tertinggal di daerah 3T tersebut, berikut sebuah ilustrasi sederhana sesuai pengalaman kami dalam berjuang menggapai cita-cita bangsa dari timur Indonesia.
Kesaksian ketika saya belajar S3 di jurusan Fisika NUS, Singapura, sekira tahun 2001-2005 sebagai sebuah ide implementasi untuk membangun pendidikan daerah3T yang tertinggal yaitu melalui ketaatan belajar pada para guru kami terdahulu yang telah banyak berkorban baik tenaga, pikiran maupun anggaran.
Kami bersahabat dengan para murid terbaik dari seluruh bumi tanpa batas perbedaan agama, suku, ras, maupun warna kulit dan budaya.
Satu hal yang menarik dari para murid asal Cina, mereka masih jauh lebih muda dari kami dan baru lulus S1 di China, langsung dapat beasiswa riset (NUS research scholarship).
Meskipun mereka masih seumur jagung di dunia riset, mereka punya budaya rajin/bekerja tidak mengenal waktu/uang dan juga taat pada Guru/Dosen mereka. Sehingga banyak atau sebagian besar dari mereka sukses langsung masuk Ph.D qualifying exam atau program pascasarjana Dr./PH.D (Doctor of Philosophy) tanpa S2 (M.Si/M.Sc).
Di samping itu, kami juga seangkatan program PH.D of Physics by research dari seluruh bumi, saya sendiri satu satunya yang pertama dari Indonesia, maupun ada mahasiswa pascasarjana dari negara Asia lainnya seperti: India, Malaysia, Bangladesh, Pakistan, Iran dan Srilangka.
Singkat cerita karena para mahasiswa Malaysia yang selalu menganggap mereka lebih pandai dari supervisor/dosen pembimbing, mereka bisa publikasi hasil kerjaan riset mereka sendiri tanpa supervisor mereka. Tetapi mereka gagal S3 mereka, dan harus melarikan diri (Karena jika tidak selesai S3, harus ganti rugi beasiswa NUS) ke negara lain dan berhasil peroleh Dr/PH.D dari negara Australia atau Inggris.
Ada juga beberapa mahasiswa India dan Bangladesh yang merasa lebih pandai dari supervisor mereka, mereka membuktikan bahwa diri mereka sendiri mampu published di top journals, seperti Applied Physics Letters. Hanya saja setelah Dr thesis mereka di-review keluar oleh Profesor lain, thesis mereka dinilai external review hanya bisa dapat M.Sc.
Hal ini merupakan pelajaran penting bahwa, ketaatan pada Guru/Supervisor sangat menentukan koreksi keterbatasan para murid yang sering menganggap diri lebih bijaksana dari pembimbingnya.
Semoga kesaksian sederhana ini memberi hikmat kepada sahabat disekitar kita, khususnya para murid yang masih punya harapan bangsa kdi abad 21 yang modern ini untuk lebih menghargai guru dan taat pada guru.
Doa dan pikiran serta hati kami yang melayani kiranya dapat menyertai saudara/saudari sekalian sebangsa dan setanah air Indonesia.
Your friend,
Hendry, a simple Indonesia physicist from the east.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H