Sekitar 20 tahun lalu,ketika peristiwa Black September dan bom Bali terjadi, radikalisme dan terorisme dilakukan dengan cara lama. Dengan membawa bom yang sangat besar (pada bom bali bom diangkut dengan mobil L 300 karena cukup besar), dan dilakukan dengan cara memencet detonator yng dihubungkan dengan satu alat wireless, dan akhirnya bom meledek dengan dahsyat. Apa yang dilakukan oleh para pelaku dikatgorikan sebagai tata cara modern namun belum mutakhir.
Begitu juga cara para pelaku mendapatkan faham atau ideologi. Diketahui mereka punya keterkaitan dengan salah satu pondok pesantren di Solo yang disinyalir banyak mengajarkan faham kekerasan kepada para santrinya. Bahkan pemilik ponpes tersebut beberapa kali dipenjara karena dukungannya terhadap peristiwa kekersan dan latihan militer bagi beberapa orang di Aceh.
Begitu juga dengan Black September. Mereka diketahui terlibat dengan jaringan garis keras global, al Qaeda. Begitu kuat faham itu di kepala mereka sehingga rela melakukan sabotase pesawat dan menabrakkan dua pesawat ke dua menara kembar. Itu perlu nyali besar untuk melakukannya.
Cara dan penyebaran faham radikal kini sangat berbeda dengan zaman 20 tahun lalu . Kini seorang tokoh radikal tidak perlu susah-susah untuk mentranfer ilmunya kepada para santrinya dengan cara lama. Mereka kini hanya perlu mengungkapkannya di media sosial dan menyebarkannya melalui media sosial (medsos) .Â
Medsos sejatinya adalah Artificial Inteligence (AI) yang punya cara berfikir seperti manusia, hingga dia bisa menangkap kesukaan atau kecenderungan para pemilik akun. Jika dia suka pada kegiatan air maka AI akan menampilkan banyak kegiatan air. Atau seseorang berminat pada kekerasan, maka dia akan mencari informasi atau kegiatan yang mengarah pada kekerasan.
Itulah yang dimanfaatkan oleh Islamic State (IS) maupun al Qaeda. Mereka menyebarkan konten-konten yang mengandung kekerasan maupun yang sudah direkayasa melalui AI. Inilah yang kemudian menggerakkkan banyak orang bersimpati sampai berbuat sesuatu. Kita tahu IS mendapat banyak simpati karena sangat lihat merekayasa konten dan menyebarkannya memakai AI untuk menggerakkan hati simpatisannya dari seluruh dunia.
Ini menjadi tantangan kita semua, sebagai peringatan dini terhadap potensi penyalahgunaan dan penyalahgunaan AI oleh teroris. Kesadaran ini juga membantu masyarakat global, industri, dan pemerintah untuk secara proaktif memikirkan apa yang dapat kita lakukan bersama untuk memastikan teknologi baru digunakan untuk mendatangkan kebaikan dan bukan keburukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H