Mohon tunggu...
eli kristanti
eli kristanti Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Inggris

suka fotografi dan nulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Agama dan Kontestasi Politik

29 Maret 2023   20:28 Diperbarui: 29 Maret 2023   21:42 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seseorang yang awalnya hidup di daerah pedesaan terpencil, dan sekitarnya sunyi sepi, Dia akan menyesuaikan diri dengan kesunyian, ketekunan bekerja tanpa banyak interaksi dan sebagainya. Jika dia bertani maka komunitasnya mungkin adalah petani. Dan mungkin jika dia berpindah ke daerah yang lebih ramai dan banyak aktivitas , dia akan menyesuaikan diri juga.

Mungkin dia akan bergaul tidak hanya dengan sesama petani saja tapi  juga pedagang dan beberapa profesi yang berlainan. Maka orang itu akan belajar atau paling tidak saling belajar, lalu menyesuaikan diri. Semakin berbeda maka dia akan makin menyesuaikan diri juga. Mungkin penyesuaian diri dari soal ekonomi sampai politik.

Aristoteles pernah menyebut bahwa manusia adalah zoon politicon atau mahluk politik. Hakekatnya manusia membutuhkan banyak hal untuk mengaktualisasikan keinginan politiknya. Salah satu hal yang ada dalam politik adalah hasrat berkuasa atau kekuasaan. Sehingga dalam hidupnya, mungkin saja politik itulah yang menjadi motor atau semangat dalam hidup seseorang / manusia.

Hanya saja, politik rupanya tidak bisa dilihat secara sederhana. Kita bisa melihat ini ketika kita harus menghadapi pemilihan umum presiden (pilpres) tahun 2014 atau tahun 2018. Atau yang paling ekstrem adalah perhelatan politik pilkada DKI Jakarta yang melibatkan Suku, Agama, Ras dan Antar golongn (SARA) dalam mencari massa pendukung dalam meraih kekuasaan.

Kita bisa melihat pada masa itu, segala macam platform media dan mengandung SARA digunakan untuk meraih suara. Yang paling menyedihkan adalah dipakainya tempat ibadah menjadi sarana kampanye untuk kalangan tertentu dan memakai pendekatan agama. Tempat ibadah yang seharusnya bebas dari segala hal bersifat duniawi apalagi kekuasaan dipaksa terkotori karena ulah beberapa pihak yang memakai pendekatan agama untuk meraih kemenangan sang calon penguasa.

Dampaknya memang menyedihkan. Generasi muda yang pada zaman itu masih sangat muda menjadi terbiasa dengan fenomena itu. Sehingga caci maki menjadi hal yang biasa mereka dengarkan.

Saat ini kita berada di masa dimana kita juga menghadapi kontestasi pilpres dan pilkada  beberapa belas bulan mendatang. Tentu kia tidak bisa mengulangi kesalahan seperti yang saya sebut di atas. Ke depan kita jangan sampai memakai SARA hanya untuk mendulang suara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun