Sekarang ini eranya memang telah berubah. Internet telah mengendalikan hamper semua kebutuhan masyarakat. Apa yang dibutuhkan masyarakat, bisa dipenuhi melalui aktifitas di internet.
 Tidak hanya urusan mencari informasi, teman, mencari pekerjaan, hingga transparansi anggaran. Sistem belajar mengajar pun belakangan mulai marak dilakukan di dunia maya, yang kemudian dikenal dengan sistem e-learning. Pertanyaannya, apakah sistem ini benar-benar efektif ketika era hate speech dan hoax begitu marak di era milenial dan tahun politik seperti sekarang ini?
Mari kita renungkan bersama. Kenapa praktek penyebaran ujaran kebencian dan kebohongan ini terus marak? Bukankah dalam tradisi kita sebagai bangsa Indonesia tidak mengenal budaya saling membenci, saling menghujat ataupun persekusi?Â
Bukankah kita mengenal budaya saling menghargai, menghormati, tenggang rasa dan toleransi? Ketika penyebaran hate speech dan hoax mulai memanfaatkan kecanggihan teknologi, lalu solusi untuk memutus mata rantai hoax dan kebencian ini juga bisa terselesaikan melalui teknologi? Tentu saja harapannya seperti itu.Â
Apalagi penggunaan e-learning ini sudah diperkuat melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.24 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaran Pendidikan Jarak Jauh oleh Perguruan Tinggi.
Beberapa kampus yang telah menggunakan sistem belajar jarak jauh dengan sistem e-learning ini diantaranya seperti Universitas Gajah Mada, Universitas Padjajaran, Universitas Airlangga, Universitas Gunadarma, Universitas Diponegoro, Universitas Indonesia, dan Universitas Terbuka. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan sistem e-learning ini.Â
Hanya sistem ini juga harus bisa mengadopsi bagaimana upaya memperkuat karakter para peserta didik, agar tetap mempunyai fondasi yang kuat. Seperti kita tahu, era milenial ini telah mempercepat penyebaran virus kebencian dan kebohongan di dunia maya. Jika peserta didik tidak mempunyai karakter yang kuat, maka akan mudah terpapar virus kebencian dan kebohongan.
Pendekatan online memang tidak bisa dibendung karena kemajuan teknologi. Tanpa harus bertatap muka secara langsung, proses belajar mengajar tetap berlangsung.Â
Sementara, dengan sistem offline, tatap muka secara langsung bisa dilakukan. Pengajar bisa melihat bagaimana reaksi peserta didik dalam menanggapi sebuah persoalan.Â
Begitu juga sebaliknya. Tentu dibalik efektifitas sistem ini, masih ada sektor yang belum bisa disentuh, yaitu ketika peserta didik terpapar virus kebencian, virus radikalisme dan intoleransi yang disebarkan melalui dunia maya.
 Untuk menghadapi generasi muda yang terpapar virus ini, pertemuan secara langsung harus dilakukan. Pembicaraan dari hati ke hati harus dilakukan. Tidak bisa dilakukan hanya dengan cara berbicara dibalik tablet atau komputer.
Selain itu, perhatian keluarga ke putra putrinya juga penting terus dijaga. Mengingat peran keluarga juga menjadi penentu bagaimana tumbuh kembangnya anak kedepan. Selain keluarga, sistem pendidikan yang sudah modern seperti sekarang ini, juga harus tetap memperkuat pendidikan karakter, agar generasi muda kita tidak salah salah di kemudian hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H