Mohon tunggu...
Eli Halimah
Eli Halimah Mohon Tunggu... Guru - open minded

guru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjaga Muruah Guru

14 April 2022   16:30 Diperbarui: 14 April 2022   16:37 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kata "Marwah" sangat sering kita baca, dengar, dan gunakan dalam berbagai kesempatan. Sebenarnya kata marwah adalah bentuk tidak baku dari kata "Muruah". 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri kata Muruah termasuk dalam jenis kata benda atau nomina yang memiliki arti kehormatan diri; harga diri; nama baik.

Setiap profesi tentu memiliki muruahnya sendiri, terlepas dari sifat dan karakter personalnya. Dari sekian banyak profesi yang ada, guru mempunyai muruah yang paling tinggi. Sependek pengetahuan penulis sendiri, memang belum ada survey yang dapat dijadikan data untuk mendukung pendapat tersebut.

Namun, berdasarkan pengamatan tidak langsung penulis dalam berbaur dengan masyarakat, mereka menempatkan guru sebagai orang yang amat dihormati, bila dibandingkan dengan profesi lainnya. 

Mungkin pendapat penulis tidak bisa diterima oleh semua orang dan menganggap itu penilaian yang subyektif karena penulis sendiri berprofesi sebagai guru. Hal itu sah-sah saja. Siapa pun boleh memiliki pendapat, yang terpenting kita mampu dan mau mempertanggungjawabkan pendapat kita. Di samping itu sikap saling menghargai juga sangat baik jika diterapkan dalam pembahasan ini.

Terlepas dari perbedaan di atas, penulis sangat tertarik untuk mendiskusikan judul dalam tulisan ini. Menjadi guru bukanlah pekerjaan mudah, meskipun bukan juga pekerjaan yang sulit. 

Dalam keseharian, kita sering dibuat rancu dengan kata 'guru' dan 'pendidik'. Apakah seorang guru itu pendidik? Apakah pendidik itu pasti guru?

Kembali membuka KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), definisi guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. 

Sedangkan kata profesi sendiri bermakna suatu bidang pekerjaan yang dilandasi Pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu. 

Berarti dapat dikatakan bahwa seorang guru sudah pasti seorang pendidik. Sedangkan pendidik belum tentu seorang guru. Kata guru lebih bersifat formal dan umum dari pada pendidik. Guru memiliki konsekwensi hukum sedangkan pendidik tidak.

Dalam sebuah keluarga, orang tua adalah pendidik karena mereka menyeru, mengingatkan, memberikan dan melatih anak untuk memiliki kemampuan tertentu. Akan tetapi mereka bukanlah guru karena tidak memerlukan legalitas hukum untuk pekerjaan yang mereka lakukan.

Begitu pula di tengah masyarakat. Ada banyak orang yang bisa kita sebut pendidik. Mereka menjadi panutan dalam masyarakat, membimbing dan mengarahkan pola pikir, gerak, dan sikap masyarakat kepada suatu kemampuan tertentu. 

Label itu umumnya diberikan sebagai bentuk penghargaan dan dedikasi mereka. Kesimpulannya, guru dan pendidik adalah dua kata yang berbeda dan memiliki makna sendiri.

Berbicara tentang muruah guru, tentu akan menyangkut empat kompetensi, yaitu spiritual, sosial, pribadi, dan pedagogis. Empat ini tidak bisa dipisahkan. Juga tidak bisa dibuat hirarki. Kompetensi apa yang lebih utama dari pada yang lainnya. Keempatnya harus menyatu pada diri seseorang yang memiliki label guru.

Apakah kompetensi spiritual menempati urutan nomor satu? Tidak juga. Penempatan dalam beberapa tulisan, buku dan literatur tidak menunjukkan sebuah tingkatan. 

Bisa kita contohkan seperti berikut. Bapak A dikenal sebagai orang yang alim dan ahli ibadah. Jika Bapak A ini kurang bisa melakukan komunikasi pada orang lain, apa yang dia sampaikan bisa jadi kurang bisa dipahami oleh orang lain. Lebih buruknya, bisa terjadi kesalah pahaman dan penafsiran dari siswa.

Jika kemampuan ibadahnya tidak diikuti dengan kemampuan meneglola kelas, apa yang akan terjadi? Proses pembelajarn tidak bisa berjalan dengan baik. Bisa jadi siswa rebut di kelas dan tidak memperhatikan gurunya. Jika dihubungkan dengan tugas guru, jelas tujuan pembelajarannya tidak tercapai. Jika hal ini terjadi berkali-kali dan terus-menerus, bagaimana siswa akan memperoleh ilmu dan keterampilan, memahami konsepnya saja tidak.

Apakah kompetensi sosial lebih utama dari pada kompetensi lainnya? Tidak juga. Sebagai contoh, Ibu B adalah orang yang sangat supel. Dia bisa dan mudah berbaur serta bekerja sama dengan orang lain secara baik. Dia juga orang yang mampu menyemangati orang lain. Siapa pun yang mengenalnya pasti akan terpesona dengan kemampuan sosialnya yang sungguh luar biasa.

Sosok seperti ini sepintas terlihat sangat sempurna. Akan tetapi, jika tidak dibarengi dengan kemampuan keilmuan di bidang yang dia tekuni, seabrek kemampuan sosial tadi menjadi kurang berguna. Dia pandai bebicara, tetapi isi yang dibicarakan tidak penting, atau bisa jadi salah. Tentu ini sangat membahayakan. Siswa bisa saja mendapat ilmu dan informasi yang salah dan itu harus dipertanggung jawabkan tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Sungguh sangat disayangkan, bukan?

Apakah kompetensi pribadi lebih utama dari pada yang lainnya? Tidak juga. Sebagai contoh, Bapak C adalah orang yang dikenal dewasa, arif, dan berwibawa. 

Namun, dalam keseharian dia sering terlibat konflik dengan sesama rekan guru atau dengan tetangga di lingkungan rumahnya. Atau dia tidak bisa memahami siswa dan tidak bisa mengausai kelas yang dia ajar? 

Tentu proses belajar di kelas tidak akan berjalan dengan baik. Bisa saja siswa menjadi kurang berempati padanya, atau bahkan membencinya. Semoga hal ini tidak sampai terjadi.

Lalu yang terakhir, apakah kompetensi pedagogis lebih uatama dari pada kompetensi lainnya? Tidak juga. 

Sebagai contoh, Ibu D adalah guru Bahasa Inggris di sebuah sekolah. Kemampuan Bahasa Inggrisnya setara dengan penutur aslinya. Dia juga mampu membuat perencanaan pembelajaran yang sangat sempurna. Kemampuan membuat soalnya sudah sampai pada level nasional. Jika ternyata Ibu D ini orang yang sering bertengkar dengan suaminya, saudaranya, atau orang tuanya, bagaimanakah penilaian siswa dan masyarakat padanya?

Bagaimana jika dia sering berkata bohong? Atau menganggap guru lain lebih rendah dan kurang cerdas dibandingkan dirinya? Apakah dia bisa bekerja sama dengan orang lain, siswa, guru, bahkan kepala sekolah? Tentu jawabannya tidak.

Betul jika dikatakan tidak ada manusia yang sempurna, begitu pula seorang guru. Fitrah ketidaksempurnaan pasti juga melekat pada seorang guru. Akan tetapi, kita (baca guru) tidak bisa berlindung di balik quote sakti "Nobody's perfect" itu selamanya. Sebagai orang dengan profesi yang paling dihormati dan disegani, kita semestinya memiliki kemampuan belajar di atas rata-rata profesi lainnya.

Bukankah dalam Islam belajar itu tidak mengenal usia dan masa? Maka, mengenali diri kita dalam keempat kompetensi tersebut (spiritual, pribadi, sosial, dan pedagogis) adalah langkah yang harus kita tempuh saat ini juga. Jangan lagi ada jeda dan penundaan.

Jika guru telah mengenali empat kompetensi yang ada pada dirinya, menambahkan kompetensi mana yang masih minim, lalu mencoba dan berupaya membuat keempatnya seimbang dan saling memengaruhi, adalah satu-satunya cara dan upaya kita dalam menjaga harga diri kita sebagai guru. Tidak ada cara lain dan tidak ada yang bisa menjaga harga diri guru selain guru itu sendiri. Yakinlah!

Maka, kepada segenap pembaca yang berprofesi sebagai guru, mari menjadi pembelajar sejati agar kita mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab kita dengan baik dan benar. Benar di mata hukum manusia, juga benar di mata Allah SWT.

Selamat belajar!!!

#Ramadankonsistenmenulis

#Challengedirisendiri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun