Tradisi kramasan sesungguhnya memiliki makna denotasi/sesungguhnya dan konotasi/kiasan. Makna denotasi merujuk pada kegiatan mencuci rambut yang nyata dilakukan oleh masyarakat. Sedangkan makna konotasi merujuk pada analogi atau perumpamaan pada kegiatan mencuci rambut.Â
Dengan mencuci rambut ini, diharapkan semua kotoran fisik yang ada pada salah satu anggota badan kita ini hilang dan kondisi rambut menjadi bersih dan suci.
Makna kiasannya sendiri adalah bahwa kita pun seyogyanya tidak hanya membersihkan kotoran yang bersifat fisik atau yang tampak oleh mata, tetapi juga membersihkan kotoran atau sifat-buruk yang mungkin masih bersarang di hati kita. Sifat buruk yang mungkin masih sering kita miliki adalah sifat iri, dengki, buruk sangka, mengadu-domba, ghibah, riya, dan lain sebagainya.Â
Dengan membersihkan hati dari sifat-sifat buruk yang kita miliki, ini bermakna bahwa kita sungguh-sungguh dan memiliki niat serius dalam menyambut dan memasuki bulan Ramadan dengan bersih dan suci baik jasmani maupun rohani.
Terlepas dari pemaknaan masyarakat pada kedua tradisi ini (munggahan dan kramasan), kita sebagai umat Islam seharusnya mampu menjadi pribadi yang baik dengan sifat yang baik di mana pun dan kapan pun. Dari paparan di atas, penulis berharap tradisi ini akan tetap lestari di tengah masyarakat Cilegon karena memiliki nilai kearifan lokal yang sangat positif.
Cilegon, 02.04.2022
#Ramadankonsistenmenulis
#Challengedirisendiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H