Posisi Indonesia sebagai pasar yang besar dalam aktivitas perdagangan internasional memiliki implikasi kultural yang serius. Strategi pemasaran yang diterapkan oleh berbagai perusahaan di seluruh dunia berlandaskan pada desain yang dirancang sesuai dengan tujuan dari pemasaran itu sendiri, yaitu minat beli hingga loyalitas konsumen pada produk-produk tersebut. Penggunaan jaringan internet sebagai sarana pendukung pemasaran yang umumnya dilakukan melalui media sosial membentuk budaya dan trend tertentu dalam masyarakat.
Dalam studi psikologi sosial ditemukan fenomena baru yang disebut dengan Fear Of Missing Out (FOMO) Syndrome. Sindrom ini ditandai dengan perasaan selalu ingin menunjukkan diri mengikuti perkembangan trend mutakhir. Perasaan tersebut menggejala seperti adiksi atau kecanduan pada pengidapnya sehingga secara terus menerus terdorong untuk melakukan upaya untuk tetap berada pada mode eksistensial dan mampu mengikuti perkembangan trend mutakhir. Kecanduan tersebut hadir sebagai akibat dari penggunaan media sosial, media internet dan berbagai platform permainan yang eksis.
Efek samping lain dari aktivitas pemasaran yang berkombinasi dengan penggunaan media sosial adalah semakin pesatnya perkembangan gaya hidup hedonisme di kalangan masyarakat. Supelli mengatakan bahwa hedonisme merupakan penyakit mental yang terlihat dari perilaku mengejar kesenangan atau kenikmatan pribadi, kemewahan, dan kemapanan di atas hal-hal lain dalam hidupnya. Kecenderungan mental ini membawa seseorang untuk mengabdikan hidupnya pada kesenangan semata-mata. Lebih lanjut dijelaskan bahwa hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang, pesta pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Karena mereka beranggapan hidup ini hanya sekali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya.
Selain itu efek samping yang juga muncul dari fenomena pemasaran melalui media dalam jaringan internet adalah semakin menguatnya kecenderungan masyarakat dalam budaya konsumerisme. Dalam budaya ini eksistensi masyarakat memformulasikan tujuan hidup dalam rangka memperoleh berbagai barang konsumsi yang pada dasarnya tidak terlalu dibutuhkan. Barang-barang konsumsi tersebut berperan sebagai penanda identitas dan eksistensi seseorang yang difungsikan untuk menarik perhatian masyarakat untuk membeli barang-barang konsumsi lebih dari yang dibutuhkan melalui manipulasi periklananan dan kemasan.
Kecenderungan dan gaya hidup di atas menjadi paradox dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang secara umum berada dalam keterbatasan. Tidak hanya keterbatasan kondisi kesejahteraan, tapi juga persoalan ekologi yang mengalami degradasi akibat aktivitas eksploitasi berlebihan guna memenuhi kebutuhan konsumtif dan hedonistis dari masyarakat. Sindrom FOMO, budaya hedonisme dan konsumerisme membawa masyarakat Indonesia dalam kondisi yang semakin parah.Tingkat pendapatan yang rendah akan menjebak masyarakat dalam lilitan utang atau pola hidup yang tidak produktif. Aktivitas eksploitasi demi pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat yang tinggi pun akan memperburuk krisis ekologi.
Menghadapi situasi yang demikian maka diperlukan respon teologis yang memadai. Kisah perjalanan Yohanes Sang Pembaptis di padang gurun dapat menjadi inspirasi dalam memberi teladan kebersahajaan atau kesederhanaan bagi masyarakat Indonesi. Kesederhanaan merupakan antithesis yang paling mungkin diterapkan dalam menanggapi kecenderungan FOMO, hedonisme dan konsumerisme yang saat ini telah menjadi masalah bagi masyarakat Indonesia. Lukas 3:10-14 berisi kisah dialog Yohanes Pembaptis dengan tiga golongan masyarakat saat itu, yakni orang banyak, pemungut cukai, dan para prajurit. Jawabannya atas pertanyaan berbagai golongan tersebut menitikberatkan pada aspek kepedulian terhadap sesama dan kesederhanaan.
Momen dialog Yohanes Pembaptis bersama orang banyak, pemungut cukai, dan prajurit tersebut menjadi landasan bagi laku spiritual keugaharian yang dapat diartikan sebagai semangat hidup dalam kesederhanaan dan berkecukupan. Jawaban yang diberikannya pada orang banyak adalah untuk peduli pada sesama. Hal ini bermakna bahwa anggota masyarakat memiliki kewajibaan untuk berbagi pada sesama anggota masyarakat yang hidup dalam kondisi serba kekurangan. Tindakan tersebut perlu dilakukan guna mengantisipasi kemunculan rasa cemburu atau bahkan tindak kriminalitas yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang tidak mampu. Selain itu, tindakan tersebut dapat mengalihkan perhatian anggota masyarakat dari perilaku hedonis dan konsumerisme menjadi perilaku peduli pada sesama.
Jawaban Yohanes Pembaptis pada golongan pemungut cukai memberi penekanan pada larangann untuk mengambil keuntungan dari pungutan yang dikerjakannya. Jawaban tersebut merefleksikan kondisi yang ditandai dengan perilaku banyak pejabat pemerintah saat itu yang menyalahgunakan jabatannya untuk memperoleh keuntungan sekaligus kesenangan pribadi atau dengan kata lain perilaku hedonisme. Dengan demikian dalam jawabannya Yohanes Pembaptis secara implisit menentang hedonisme. Selanjutnya adalah jawabanYohanes Pembaptis pada pertanyaan para prajurit yaitu berisi larangan untuk melakukan pemerasan dan perampasan serta anjuran untuk hidup sederhana dan mencukupkan diri pada gaji yang didapat.
Tidak hanya dalam teks atau lisan, Yohanes Pembaptis memberi teladan kesederhanaan dalam praksis nyata. Sebagaimana diketahui bahwa Yohanes Pembaptis merupakan pendoa dan memperoleh predikat kenabiannya setelah menjalani kehidupan di padang gurun Yudea. Dalam kehidupannya di gurun tersebutlah Yohanes Pembaptis menjalaninya dengan penuh kesederhanaan dengan mengenakan jubah bulu unta, ikat pinggang yang terbuat dari kulit, makanan berupa belalang atau muda hutan. Kisah tersebut dapat dijumpai pada Markus 1:1-8. Teladan yang diberikan ada hidup secukupnya secara sederhana berdasarkan sesuatu yang ada. Selain itu, kehidupan sederhana Yohanes Pembaptis juga secara tidak langsung memberi gambaran bahwa kehidupan pada dasarnya bergantung pada kondisi ekologis yang baik. Madu hutan, belalang hingga kebutuhan sandangnya diperoleh langsung dari alam. Karena itu sistem ekologi perlu dijaga agar tidak terjatuh pada krisis sehingga tetap dapat menopang kehidupan di bumi. Selanjutnya ketegasan sikap Yohanes Pembaptis dalam mengekspresikan suara kenabiannya terartikulasi dalam ungkapan "suara yang meraung-raung dari padang gurun" (Latin: vox clamantis in deserto). Ungkapan tersebut mengacu pada sikap counter-cultural yang penting untuk dihidupi gereja, yaitu sikap yang menentang hedonisme, konsumerisme dan kecenderungan FOMO !
Kesederhanaan menjalani kehidupan dalam masyarakat Asia dan Indonesia secara khusus diperkenalkan pula dalam teologi kerbau yang dikonstruksi berdasarkan realitas kehidupan masyarakat Asia oleh seorang teolog bernama, Kosuke Koyama. Konsep teologi bersumber pada pengalaman hidup Koyama bersama orang-orang di Thailand utara. Dalam pengalamannya tersebut Koyama seringkali menjumpai kerbau-kerbau yang beraktivitas di sawah. Dari pengalaman itu muncul gagasan bahwa sudah seharusnya pewartaan dilakukan dalam format yang sederhana. Dengan kata lain, pewartaan dilakukan dengan bahasa dan cara berpikir yang sederhana. Segala bentuk abstraksi dalam pewartaan harus dimanifestasikan ke dalam bentuk yang nyata sehingga mudah ditangkap oleh masyarakat.