“...ku lihat ibu pertiwi sedang bersusah hati.”
Lirih-lirih sayup terdengar lagu itu.
Lirih-lirih sayup terdengar tangis ini.
Terkadang, diri berduka saat ibu tertimpa lara.
Pada ibu, lebih sering lupa segala rupa.
Lupa darimana asal diri.
Lupa bagaimana segalanya tumbuh.
Lupa pada kasih, lupa pada sayang.
Ribaan sang ibu alam jadi tempat asal.
Pepohonan menjulang, tumbuh-tumbuhan menghijau wajah sang ibu alam.
Kasih adalah memberi kehidupan semua makhluk.
Sayang adalah menjaga seluruh yang hidup tetap dalam hidup.
Tapi, sekali lagi, kita lupa.
Lupa darimana asal diri; mengotori air, sungai, danau, dan lautan.
Lupa bagaimana segalanya tumbuh; menggusur pohon-pohon, melumat apa yang tumbuh.
Lupa pada kasih, lupa pada sayang; Tak ada sisa, semua nyaris hilang.
Katanya alam adalah karya agung dengan cinta.
Kita dicipta membantu menjaga alam-Nya.
Tuhan tak perlu itu, tapi kita tetap dicipta.
Kalau bukan karena cinta, lalu apa?
Tapi, kedua kalinya, kita lupa.
Ibu alam tak dijaga, dijarah segala isinya.
Apa-apa yang hidup nyata-nyata nyaris punah.
Cinta-Nya dibalas dengan imajinasi, jadilah cinta kita cinta imajiner!
Cendekia hanya sekadar pintar berkata.
Cendekia duduk diam tanpa kata.
Cendekia sibuk tanpa kerja tanpa kata.
Semuanya tanpa guna, lupa dengan duka-lara bunda.
Akhirnya,
Lamat-lamat sayup terdengar “Ibu, kami tetap cinta.”
Dan kami hanya anak-anak yang durhaka karena lupa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H