Mohon tunggu...
Eliezer Tri Dirgantara
Eliezer Tri Dirgantara Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Hanya karyawan biasa, punya beberapa blog yg sudah tidak pernah dibuka :P

Selanjutnya

Tutup

Politik

DPR, Sebuah Cermin Retak bagi Rakyat Indonesia

4 Desember 2015   13:58 Diperbarui: 4 Desember 2015   14:08 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MKD sedang naik daun!
Gara2 sidang MKD disiarkan secara terbuka di televisi nasional, barulah masyarakat heboh. Bagaimana sebenarnya pola pikir orang-orang yang memangku jabatan sebagai wakil rakyat. Beberapa menilai pertanyaan-pertanyaan yang diajukan "Yang Terhormat" anggota Majelis Kehormatan Dewan mengada-ada, lucu, konyol, atau bahkan dianggap bodoh. Bahkan akhirnya jadi trending topik beberapa saat karena banyak beredar Meme-meme yang menyindir sidang tersebut.

Tiba-tiba saya jadi berpikir. Bagaimana sih orang2 itu bisa sampai menduduki posisi yang begitu penting di negeri ini? Sepertinya ada yang salah deh. Sebagai orang awam, jika saya bayangkan sedang menduduki jabatan dan peran yang sama, jangan2 akan mengajukan pertanyaan yang sama. Tapi saya kan orang awam, sedangkan mereka adalah anggota Dewan Yang Terhormat. Emang di negeri ini tidak ada orang yang lebih bermutu dari itu?

Aku flashback ke dalam otakku yg terbatas -setahuku- mereka adalah hasil dari pemilu. Artinya mereka ada karena hasil dari sebuah pilihan rakyat. Nah.. Apa tidak jadi blunder bagi rakyat-rakyat yang sekarang sedang  bergirang menertawakan kekonyolan jalannya sidang MKD tersebut?

Lha waktu milih dulu apa sudah dilakukan dengan serius, dengan segenap kemampuan, pikiran, akal, dan budi, jiwa dan raga? Atau hanya sekedar nyoblos? Toh gak ngefek juga sama gua mau milih mana? Orang yang disodorkan juga kagak ada yang kenal. Boro2 menelusuri rekam jejaknya, mau dateng ke TPS (tempat pemilihan suara) dan nyobloos aja udah bagus. Begitu kira2 gambaran sikap rakyat Indonesia secara umum menurut pandangan saya.

Lalu siapa sebenarnya yang layak untuk dipersalahkan?
Rakyat yang tidak perduli dengan hasil pemilu, orang2 kompeten yang tidak mau terlibat urusan politik, atau sistem yang masih perlu pembenahan?

Coba kita selisik satu persatu. Data komposisi rakyat Indonesia yang tersiar di mbah google tahun 2010, komposisi penduduk Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia berpendidikan SD/MI/Sederajat.

Di level pendidikan ini, masyarakat cenderung permisif ketimbang kritis. Contoh nyatanya saya lihat sendiri di lingkungan saya tinggal. Serangan fajar berdampak sangat besar bagi hasil pemilu. Mana mungkin mereka punya akses informasi yang luas, internet saja mungkin belum pernah lihat. Koran cetak (sepertinya) juga tidak mengupas secara detail para calon wakil rakyat, yang diberitakan hanya yg sedang ada polemik. Alhasil para konsumen sinetron ini hanya 'menghitung kancing baju' dalam memilih. Padahal jumlah mereka ini dominan, artinya wakil kita di DPR adalah hasil dari 'memilih kucing dalam karung'. Wajar saja kalau hasilnya seperti yang kita lihat sekarang di sidang MKD.

Dari sisi orang yang kompeten, di sini saya merasa ambigu. Lebih gampangnya saya tunjuk saja praktisi akademisi, rektor, ilmuwan atau apalah, yang belajarnya sudah bertahun2 di bidang yang spesifik. Alih-alih bikin rumah aspirasi, kenapa tidak memilih anggota dewan yang setara dengan para pakar di bidangnya? Sepertinya jumlah anggota yang berbobot seperti ini masih jauh dari ideal. Tapi apa kira2 seorang yang punya ilmu tinggi mau mengorbankan hidupnya untuk duduk di jabatan wakil rakyat? Sekalipun Partai2 yang ada sudah berusaha menjaring mereka untuk dijadikan kandidat, tapi kenapa tidak mau? Mungkin karena belum banyak teman setara di sana ya? Malas juga kan kalau tiap saat ditanya oleh orang2 seperti di sidang MKD.

Dari sistem yang ada sekarang, mungkinkah ditambahkan syarat bagi calon anggota dewan yang lebih berat, misal pengalaman kerja, tingkat pendidikan, atau rekam jejak. Atau penjaringannya jangan secara jeneral, harus lebih spesifik mau jadi anggota komisi apa ,agar lebih sesuai dengan kapasitas orang tersebut. Masuk sekolah saja sudah ada penjurusan kok milih anggoa dewan asal2an. Kalau berharap sistem ini bisa diperbaiki oleh DPR angkatan ini, saya kok pesimis ya. Misal nih sesuai tugas anggota dewan sebagai bidannya undang2, mengoutsourcing draft undang2 ke pakar. Trus bahan mentah ini dibahas seperti sidang MKD...  Pakar ketemu anggota dewan.. ah, malesin banget ya...jadi speechless sendiri saya.

Ya sudah lah, saya di sini tidak punya kapasitas untuk membahas ini, apalagi berharap bisa memperbaharui keruwetan sistem di negara kita ini... Bahkan menurut selentingan yang pernah aku dengar, di balik pemerintah dan legislatif, katanya ada level yang lebih tinggi yang mengurusi proyek2 besar. Dan ini berlaku tidak hanya di Indonesia.. RUWET DAh...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun