Mohon tunggu...
Elida Sari
Elida Sari Mohon Tunggu... Penulis - Elida Sari

Ig : elidasari4

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gerimis

28 September 2021   19:46 Diperbarui: 28 September 2021   19:55 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Usaha, tekad, niat, dan keberanian yang dikumpulkannya seketika hancur hanya dengan kata "maaf". Jalanan di gang yang tadinya begitu ramai oleh pejalan kaki dan pengunjung kafe yang dibangun sepanjang jalan kini mulai lengah. 

Hujan mengguyur deras digang yang tadinya ingin dijadikan tempat paling bersejarah olehnya, malah menjadi tempat paling kelam untuknya. Wajahnya pucat muram seolah darahnya berhenti mengalir, seakan-akan nyawanya melayang meninggalkan raganya yang memprihatinkan. 

Dilangkahkan kakinya berteduh dibawah atap sebuah rumah yang ukurannya terbilang kecil namun tampak menawan dibangun menghadap ke gang yang banyak dilintasi pasangan. Dilipatkan kedua tangan didadanya termangu ia meratapi hujan yang mengguyur deras menyapu jalanan.

Dari kejauhan seseorang berlari mendekatinya.

"Saya boleh ya ikut numpang berteduh disini!" Tanya seorang perempuan padanya sambil mehalangi guyuran hujan diwajah dengan telapak tangannya.

Pikirannya yang masih kosong, tergagap-gagap menanggapi ucapan perempuan yang tampaknya berusia sekitar 20-an itu. "Heh, oh, eh I iya boleh".

Perempuan itu segera ikut berteduh lalu mengebaskan baju yang basah dan merapihkan pakaian, berdiri disebelahnya yang masih tenggelam dalam lamunannya.

Sudah sekitar lima menit mereka berteduh bersama didepan rumah mungil itu. Ia masih tenggelam dalam pikirannya nyawanya masih melesat menjauh entah kemana. 

Sedangkan perempuan yang berdiri di sebelahnya sudah mulai merasa bosan, sesekali ia memeluk tubuhnya sediri yang kedinginan oleh hembusan lembut angin yang ikut terbawa bersama hujan. 

Gadis itu yang mulai dirasuki kebosanan mengulurkan telapak tangannya menengadah hujan yang mengalir dari ujung atap kemudian tangannya ditarik kembali begitu pula dengan kakinya ia lakukan berulang ulang. Hingga ia lupa tentang kejenuhan dan mulai tersenyum gemas pada cipratan hujan karena ulahnya.

Hatinya benar-banar hancur hingga tak ada yang menarik baginya dunia ini. Tawa menggemaskan perempuan disebelahnya yang asik bermain dengan air hujan tak mampu menariknya dari perasaan kelam. 

Dilihat hujan menyapu bersih serpihan hatinya yang hancur di sepanjang jalan oleh besar harapannya terhadap seseorang. Suara cekikikan perempuan disebelahnya perlahan masuk ketelinga menarik perhatiannya, diliriknya gadis yang gemas bercanda dengan hujan bermain cipratan air.

Hujan perlahan reda, menyisakan ritntik-rintik gerimis yang semakin kecil. Dirasa sudah tak akan membasahi tubuh jika diterobos, merekapun mulai menggunugkan niat untuk menerjang rintik-rintik huja yang menipis.

"Sudah mulai reda." Tutur gadis disebelahnya memecah keheningan.

"Sepertinya iya." Jawabnya.

"Ayo! Saya duluan ya" Gadis itu melangkahkan kaki kebawah gerimis sisa hujan yang menyapu bersih remukan persaannya. Selang beberapa langkah dari gadis itu, ia pun ikut serta membiarkan tubuhnya ditimpa gerimis mungil yang menggemaskan. Semenggemaskan gadis yang berjalan dihadapannya.

Angannya berjalan digang ini sebagai sepasang memang sudah hancur dan kepingannya pun sudah terbawa arus air hujan yang menyapu bersih tiap sudut jalanan gang. 

Namun angannya tidak sepenuhnya hancur, karena ia kini berjalan sebagai sepasang meskipun tidak sebagai sepasang yang diharapkannya. Entah terlihat sebagai apa, entah seperti sepasang manusia, sepasang kakak dan adik, sepasang ayah dan anak atau ibu dan putranya. Atau mungkin ada yang mengira sebagai sepasang kekasih, Itu tidak begitu buruk untuknya yang baru saja merasa dipermalukan oleh tinggi harapannya.

Jalanan gang ini yang sangat lekat dengan image romatisnya ternyata tak seindah citranya. Jalanan indah ini menjadi tempat kelam baginya tempat kehancuran jiwa dan perasaannya terhadap seorang yang tercipta dari tulang rusuk. 

Namun hujan membawa seseorang hadir kesisinya menyadarkannya membawa kembali jiwa yang melayang. 

Gadis itu menyatu dengan gerimis menggemaskan berjalan dengan penuh riang menarik jiwanya pada kebahagiaan yang nyaris ia lupakan. Patah hatinya tergantikan oleh tingkah gemas gadis dihadapannya yang mengundang senyum dibibirnya tanpa sadar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun