Tidak seorang pun dari kita ingin bekerja sebagai pemulung. Kita punya harapan yang sama atas anak cucu kita kelak bisa bekerja di tempat yang resmi, berpakaian necis hingga lalat pun tak bisa hinggap. Selain itu, kita juga berharap pula bila bekerja di tempat kerja resmi pendapatan kita pun ikut terdongkrak. Karena itu, bekerja sebagai pemulung harus ditepiskan jauh-jauh dari pikiran kita.
Meskipun terlihat sehari-hari pemulung itu dekil, hidup dalam komunitas kumuh, tapi mereka bekerja sungguh sangat profesional. Pemulung berangkat kerja pagi, siang pulang ke rumah membawa hasil dari memulung, kemudian sore melanjutkan bekerja memulung.Â
Hebatnya lagi, bukan cuman pria yang mencari nafkah dengan memulung tapi sang istri juga memulung, Bahkan anak-anak mereka pun ikut memulung selepas pulang dari sekolah. Luar biasa! Anak-anak mereka dididik juga bekerja dari usia dini.
Bila ditanya kepada saya, daya fisik anak-anak siapakah yang lebih bertenaga dan lebih bertahan bila dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal di lokasi perumahan? Saya akan menjawab, anak-anak pemulung lebih bertenaga dan lebih bertahan!
Pemulung itu profesi adalah sebuah realitas karena mereka bekerja sungguh-sungguh profesional. Keprofesionalan terlihat dari kedisplinan bekerja, tekun, rajin, bersaing secara sehat antara mereka, memiliki pendapatan seharian bisa Rp 100.000,-00 ke atas, dan lain-lain.Â
Realitas profesi yang harus dientaskan. Kendati mereka bekerja sebagai pemulung, namun profesi sebagai pemulung bukan sesuatu yang ideal sebagaimana yang dicita-citakan oleh amanat undang-undang dan sila ke-5 Pancasila yang berbunyi: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Salam santun
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI