Mohon tunggu...
Elias Sumardi Dabur
Elias Sumardi Dabur Mohon Tunggu... Wiraswasta - Profile Singkat

Konsultan hukum dan advokat. Founder Akuity Law Firm. Owner dan host kanal youtube.com/EliasDaburNote. Memperoleh pendidikan Bahasa Perancis dari UGM, dan Ilmu Hukum dari Univ. Suryadharma, Jakarta. Punya minat besar dlm menulis perihal politik, kisah inspiratif, pengembangan kepemimpinan, dan spiritual. Lama berkecimpung dlm organisasi kemahasiswaan intra dan ekstra kampus (Sekjen PP PMKRI 2005-2006). Pernah bekerja sbg Tenaga Ahli salah satu Anggota DPR dan Legal Officer PT. Griya Apsari Persada. Selain itu, sempat merintis usaha penulisan/penerbitan buku-buku: pengembangan diri, Kisah inspiratif/motivasional dan hubungan ketuhanan. Buku pertama yang diterbitkan atas nama sendiri; BE A LEADER. Investasikan Kepemimpinan Anda! Seiring perjalanan hidup, saya memberi nama atau julukan baru bagi diri saya; " SANG PEMBELA" untuk menunjukan diri sebagai pejuang keadilan dan kebebasan. Keterlibatan saya dalam gerakan politik, minat saya dalam mendorong, memotivasi semata-mata expresi kelimpahan cinta. Karena Saya tumbuh dan besar sebagai pribadi yang kelimpahan cinta.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Covid-19 dan Tuntutan Hukum Terhadap China

29 Mei 2020   13:25 Diperbarui: 29 Mei 2020   13:28 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tuntutan lain bahwa China harus memberikan kompensasi kerugian terhadap negara-negara lain akibat Covid-19 dengan dasar prinsip hukum internasional tentang tanggung jawab negara merupakan persoalan yang rumit. Sejak abad ke-20, tidak ada satu pun kovenan internasional yang mengatur pembayaran kompensasi atas kerusakan di negara lain yang dihubungkan dengan pelanggaran traktat penyakit menular. Bahkan, pakta terbaru, The International Health Regulation (2005) tidak memiliki ketentuan pada isu ini.

Demikian pun, kalau merujuk pada Hukum Kebiasaan Internasional tentang tanggung jawab negara. Sepanjang sejarah Kerjasama Kesehatan Global, Hukum kebiasaan ini tidak menunjukan peran yang kelihatan dalam hal terjadinya epidemi. Bahkan, ketika suatu negara dinyatakan telah melanggar aturan yang berlaku.

Tiadanya praktik ganti rugi yang bersumber dari hukum kebiasaan internasional disebabkan oleh pertautan kepentingan antara pertimbangan politik dan epidemologis. Memenuhi kewajiban perjanjian internasional untuk melaporkan wabah penyakit berhubungan dengan tantangan ilmiah, persoalan kesehatan publik dan kalkulasi kesulitan secara politik.

Sementara itu di sisi lain, negara-negara menyadari bahwa ancaman pathogen dengan potensi penyebaran lintas batas bisa saja muncul di berbagai negara. Sebagai contoh, meskipun  pandemik influenza 1918-1919 asal-muasalnya masih belum jelas, Amerika Serikat masuk dalam daftar potensial negara asal penyebaran pandemik ini. Virus HIN1 yang menyebabkan pandemik influenza tahun 2009 terdeteksi pertamakali di AS.

Realitas ini membuat negara-negara berbagi kepentingan yang sama untuk tidak terlalu legalistik dan  menggugat isu-isu berkaitan dengan penyakit menular. Hal ini memberi suatu gambaran bahwa membawa China ke Mahkamah Internasional  sulit dilakukan.

Kesehatan Publik sebagai Agenda Utama

Tantangan hukum dan non hukum ini disadari betul oleh para penggugat. Hal itu terbukti dari upaya menghapus imunitas China dari pengadilan di AS, dengan mengusulkan Undang-Undang Keadilan Korban Covid-19 yang disponsori Senator dari Partai Republik, daerah pemilihan Missouri, Josh Hawley. Namun, usaha ini sulit karena bersifat rasial, diskriminatif dan menyangkut isu sensitif dalam hubungan AS dan China.

Terlepas dari kesulitan-kesulitan yang ada, langkah hukum yang diajukan pihak swasta terhadap negara ini menarik. Aksi ini baru pertamakali terjadi dalam sejarah pandemik, setidaknya 100 tahun terakhir, sejak pandemik Flu Spanyol 1918. Bahkan, negara bangsa tidak pernah menggugat negara lain atas kerugian yang disebabkan penyakit menular.

Aksi hukum ini bisa dibaca sebagai desakan kepada China dan negara-negara umumnya agar mengubah perilaku dengan bersikap lebih transparan dan berbagi informasi yang cepat bila ada kejadian luar biasa terkait penyakit menular. Upaya hukum ini bisa juga dilihat sebagai sinyal perlawanan masyarakat terhadap negara-negara yang lebih mementingkan pertimbangan politik sehingga wabah penyakit dan dampaknya tidak diatur secara jelas dalam kovenan-kovenan internasional.

Oleh karena itu, setelah pandemik Covid-19 berlalu, mudah-mudahan, Komisi Hukum Internasional PBB dapat menjadikan Covid-19 sebagai bahan pertimbangan untuk menyusun aturan baru terkait sanksi bagi negara yang menjadi sumber persebaran penyakit.  

Lebih dari itu, Majelis Umum PBB diharapkan dapat menggelar sidang khusus untuk merevisi keseluruhan agenda global. Keamanan manusia (human security) dengan jalan ketahanan pangan, air dan lingkungan bersih dan peduli pada kesehatan publik mesti menjadi agenda utama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun