Covid-19 membawa nestapa tidak hanya bagi raga manusia, tapi juga berdampak buruk terhadap kondisi ekonomi, politik, sosial, budaya dan keamanan. Situasi menekan ini menimbulkan lahirnya tuntutan hukum terhadap pemerintah China di sejumlah negara.
Sebagaimana dilaporkan dalam pemberitaan media-media, gelombang gugatan hukum terhadap China saat ini terus bergulir.
Sejak Maret hingga Mei 2020 ada sepuluh upaya hukum yang diajukan, mulai dari negara bagian Missouri dan Nevada, Amerika Serikat (AS), menyusul Inggris, Australia dan India.
Belakangan, negara-negara bagian lain di AS, seperti California, Â Florida, pennyslavania dan Texas juga mengajukan tuntutan hukum.
Enam negara bagian di AS mengajukan gugatan perwakilan kelompok (Class Action) mewakili setiap orang, badan hukum, kelompok usaha yang mengalami penderitaan, kerugian, kerusakan akibat Covid-19. Tuntutan mereka hampir identik: putusan injenctive relief.
Tuntutan ini tidak secara langsung menuntut ganti rugi uang (monetary benefits), tapi lebih kepada tekanan kepada tergugat untuk mengubah perilaku.
Sementara itu, penggugat lain dalam petitum  menuntut China melakukan reparasi karena melanggar kewajiban hukum internasional dengan tidak melaporkan kejadian Covid-19 secara cepat dan transparan.
Bagaimana prospek langkah-langkah hukum ini? Dapatkah China di adili di pengadilan negara-negara bagian AS? Apakah China bisa diadili di Mahkamah Internasional?
Imunitas Kedaulatan
Upaya litigasi ini sayangnya bakal berbenturan dengan tembok besar hukum dan non hukum. Penghalang besar pertama soal sikap China.
Dalam kasus nyata saja terkait sengketa territorial di Laut China Selatan di antara China dan Filipina, China menganggap putusan tribunal internasional yang memenangkan Filipina tidak lebih dari secarik kertas.