Pater Ernesto lebih lanjut menetap di sebuah pulau di kepulauan Solentiname di Danau yang luas Nikaragua, dekat perbatasan selatan, pada 1960. Dia membangun kapela, mendirikan koloni para seniman, dan mengajar sastra serta melukis kepada penduduk setempat.
Khotbah-khotbahnya juga politis. Â Penuh dengan denunsiasi rejim Somoza. Beberapa umat parokinya menjadi gerilyawan dan pulau itu menjadi pusat pelatihan militer untuk pergerakan Sandinista. Setelah Sandinista berkuasa 1979, setelah periode kerusuhan berdarah, perlawanan geryliawan, dan operasi penculikan massa di ibukota, Pastor Cardenal diangkat jadi Menteri Kebudayaan oleh pemimpin Sandinista, Â Daniel Ortega.Â
Sebagai menteri, Pater Ernesto menyerukan apa yang dia sebut sebagai "demokratisasi budaya". Dia menciptakan workshop puisi di seluruh negeri, Tapi, banyak kritik ditujukkan kepada Cardenal yang menilai kementerian kebudayaan menekan keseragaman ideologi dengan menekan penulis-penulis baru memproduksi propaganda, secara khusus pada masa perang gerilya panjang Sandinista melawan Amerika, yang didukung oleh kekuatan kontrarevolusi, yang dikenal dengan sebutan Contras.Â
Pastor Cardenal masih menjadi menteri sampai 1987, ketika kementerian digabung dengan badan pemerintahan lainnya. Pada 1990, dia mengambil jarak dari rezim Sandinista dan beberapa tahun belakangan kerap melontarkan kritik yang dia sebut sebagai meningkatnya gaya otoritartarian Ortega yang menjadi presiden pada 2007. Bagi Pater Ernesto, revolusi Sandinista telah gagal.Â
Tapi, dia tetap komit pada cita-cita Marxist.Â
"saya seorang revolusioner", kata Pater Cardenal dalam sebuah wawancara kepada New York Times di Januari 2015. Revolusioner berarti saya ingin mengubah dunia.Â
Dia menambahkan, Injil itu penuh dengan revolusi. Nabi-nabi adalah orang-orang yang membawa pesan-pesan revolusi. Yesus dari Nazareth mengambil pesan-pesan revolusi dari para nabi. Kita juga akan terus mencoba mengubah dunia dan melakukan revolusi. Revolusi-revolusi itu gagal, tapi, revolusi lainnya akan datang. (Diolah dari tulisan Elias E. Lopez untuk The New York Times (1/3/2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H