Mohon tunggu...
Elias Sumardi Dabur
Elias Sumardi Dabur Mohon Tunggu... Wiraswasta - Profile Singkat

Konsultan hukum dan advokat. Founder Akuity Law Firm. Owner dan host kanal youtube.com/EliasDaburNote. Memperoleh pendidikan Bahasa Perancis dari UGM, dan Ilmu Hukum dari Univ. Suryadharma, Jakarta. Punya minat besar dlm menulis perihal politik, kisah inspiratif, pengembangan kepemimpinan, dan spiritual. Lama berkecimpung dlm organisasi kemahasiswaan intra dan ekstra kampus (Sekjen PP PMKRI 2005-2006). Pernah bekerja sbg Tenaga Ahli salah satu Anggota DPR dan Legal Officer PT. Griya Apsari Persada. Selain itu, sempat merintis usaha penulisan/penerbitan buku-buku: pengembangan diri, Kisah inspiratif/motivasional dan hubungan ketuhanan. Buku pertama yang diterbitkan atas nama sendiri; BE A LEADER. Investasikan Kepemimpinan Anda! Seiring perjalanan hidup, saya memberi nama atau julukan baru bagi diri saya; " SANG PEMBELA" untuk menunjukan diri sebagai pejuang keadilan dan kebebasan. Keterlibatan saya dalam gerakan politik, minat saya dalam mendorong, memotivasi semata-mata expresi kelimpahan cinta. Karena Saya tumbuh dan besar sebagai pribadi yang kelimpahan cinta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Karena Bahlil Setitik, Rusak Jokowi Sebelanga

25 Oktober 2019   12:57 Diperbarui: 26 Oktober 2019   00:15 3902
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ini sesuatu yang tidak baik bagi seorang presiden," "ini bukti bahwa Papua bukan rakyat Indonesia," "sikap itu tidak menghargai orang Papua," dan "ini perlakuan tidak adil." Dia juga mengatakan kasus ini menambah panjang janji Jokowi terhadap orang Papua.

Salah satu yang belum tuntas dan disorot Yohanes adalah janji penyelesaian kasus HAM di Paniai. Jokowi juga pernah berjanji untuk berdialog dengan kelompok pro-kemerdekaan Papua seperti Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB). "Dengan siapa pun akan saya temui," katanya 30 September lalu, merespons permintaan Ketua DPRD Kabupaten Maybrat, Papua Barat, Ferdinando Solossa. "Janji Jokowi terlalu banyak bagi orang Papua," ia menegaskan (https://tirto.id/janji-jokowi-ke-papua-berserakan-dari-dialog-hingga-kursi-menteri-ekkb).

Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch di Indonesia, menyebut ketiadaan wakil Papua ini merupakan sikap tidak sensitif. Papua termasuk suku minoritas di Indonesia, dengan populasihanya sebesar 1,14%.Sementara suku Jawa punya persentase lebih dari 40%.

Ketiadaan orang-orang dengan latar belakang minoritas itu tidak salah, tetapi juga tidak sensitif. Kepekaan kabinet itu jadi berkurang (dalam mempertimbangkan kepentingan kelompok lain), kata Andreas. Ia menyamakan kabinet Jokowidengan jajaran kabinet Donald Trump yang didominasi oleh laki-laki kulit putih.

Menurut Andreas, agar pemerintah bisa lebih sensitif dan memperhitungkan suara minoritas, masyarakat dan media bisa turut mengingatkan pemerintah. Media bisa menulis, mengingatkan bahwa kabinet ini kurang representatif, katanya.

Namun, Andreas tak hanya mempermasalahkan representasi orang Papua. Tak hanya suku Papua, tapi porsi perempuan pun kurang. Padahal persentase perempuan di Indonesia adalah 50% jumlah penduduk. Jugatak ada representasi terhadap LGBT dan suku minoritas lain, seperti Dayak, Flores, Timor, dan lain-lain, kata Andreas (https://www.asumsi.co/post/kabinet-indonesia-maju-di-mana-orang-papua).

Mengapa Representasi Penting?

Miriam Hanni dalam penelitiannya yang berjudul Presence, Representation, and Impact: How Minority MPs Affect Policy Outcomes meneliti 47 negara demokrasi yang multietnis dan 88 kelompok minoritas. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa semakin banyak partisipasi kelompok minoritas, maka semakin banyak pula peraturan yang responsif terhadap masalah kelompok minoritas.

Tak adanya orang Papua yang menjabat sebagai menteri dikhawatirkan akan membuat masalah diskriminasi yang dialami oleh orang Papua semakin parah atau diabaikan.

Selama pemerintahan Jokowi, ada sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua, antara lain Tragedi Paniai pada Desember 2014, kasus pengungsian warga Nduga, dan kerusuhan di Wamena. Mahasiswa Papua juga mengalami tindakan rasisme di Surabaya yang menyulut aksi demo di berbagai kota di Indonesia.

Menurut Adriana Elisabeth, seorang periset LIPI, penunjukan satu orang Papua sebagai menteri bukanlah solusi instan atas persoalan-persoalan Papua yang kompleks. Namun, ia memahami mengapa representasi kini dibicarakan agak keras. "Masyarakat kecewa karena presiden tidak menepati janjinya hendak mengikutsertakan orang Papua di kabinet. Presiden juga tidak menepati janji untuk menyelesaikan isu HAM. Jadi kekecewaannya bertumpuk, ujar Adriana (https://www.asumsi.co/post/kabinet-indonesia-maju-di-mana-orang-papua).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun