"Ini sesuatu yang tidak baik bagi seorang presiden," "ini bukti bahwa Papua bukan rakyat Indonesia," "sikap itu tidak menghargai orang Papua," dan "ini perlakuan tidak adil." Dia juga mengatakan kasus ini menambah panjang janji Jokowi terhadap orang Papua.
Salah satu yang belum tuntas dan disorot Yohanes adalah janji penyelesaian kasus HAM di Paniai. Jokowi juga pernah berjanji untuk berdialog dengan kelompok pro-kemerdekaan Papua seperti Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB). "Dengan siapa pun akan saya temui," katanya 30 September lalu, merespons permintaan Ketua DPRD Kabupaten Maybrat, Papua Barat, Ferdinando Solossa. "Janji Jokowi terlalu banyak bagi orang Papua," ia menegaskan (https://tirto.id/janji-jokowi-ke-papua-berserakan-dari-dialog-hingga-kursi-menteri-ekkb).
Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch di Indonesia, menyebut ketiadaan wakil Papua ini merupakan sikap tidak sensitif. Papua termasuk suku minoritas di Indonesia, dengan populasihanya sebesar 1,14%.Sementara suku Jawa punya persentase lebih dari 40%.
Ketiadaan orang-orang dengan latar belakang minoritas itu tidak salah, tetapi juga tidak sensitif. Kepekaan kabinet itu jadi berkurang (dalam mempertimbangkan kepentingan kelompok lain), kata Andreas. Ia menyamakan kabinet Jokowidengan jajaran kabinet Donald Trump yang didominasi oleh laki-laki kulit putih.
Menurut Andreas, agar pemerintah bisa lebih sensitif dan memperhitungkan suara minoritas, masyarakat dan media bisa turut mengingatkan pemerintah. Media bisa menulis, mengingatkan bahwa kabinet ini kurang representatif, katanya.
Namun, Andreas tak hanya mempermasalahkan representasi orang Papua. Tak hanya suku Papua, tapi porsi perempuan pun kurang. Padahal persentase perempuan di Indonesia adalah 50% jumlah penduduk. Jugatak ada representasi terhadap LGBT dan suku minoritas lain, seperti Dayak, Flores, Timor, dan lain-lain, kata Andreas (https://www.asumsi.co/post/kabinet-indonesia-maju-di-mana-orang-papua).
Mengapa Representasi Penting?
Miriam Hanni dalam penelitiannya yang berjudul Presence, Representation, and Impact: How Minority MPs Affect Policy Outcomes meneliti 47 negara demokrasi yang multietnis dan 88 kelompok minoritas. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa semakin banyak partisipasi kelompok minoritas, maka semakin banyak pula peraturan yang responsif terhadap masalah kelompok minoritas.
Tak adanya orang Papua yang menjabat sebagai menteri dikhawatirkan akan membuat masalah diskriminasi yang dialami oleh orang Papua semakin parah atau diabaikan.
Selama pemerintahan Jokowi, ada sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua, antara lain Tragedi Paniai pada Desember 2014, kasus pengungsian warga Nduga, dan kerusuhan di Wamena. Mahasiswa Papua juga mengalami tindakan rasisme di Surabaya yang menyulut aksi demo di berbagai kota di Indonesia.
Menurut Adriana Elisabeth, seorang periset LIPI, penunjukan satu orang Papua sebagai menteri bukanlah solusi instan atas persoalan-persoalan Papua yang kompleks. Namun, ia memahami mengapa representasi kini dibicarakan agak keras. "Masyarakat kecewa karena presiden tidak menepati janjinya hendak mengikutsertakan orang Papua di kabinet. Presiden juga tidak menepati janji untuk menyelesaikan isu HAM. Jadi kekecewaannya bertumpuk, ujar Adriana (https://www.asumsi.co/post/kabinet-indonesia-maju-di-mana-orang-papua).