Mohon tunggu...
Eli Antoro
Eli Antoro Mohon Tunggu... Web Programmer -

bukan obelix

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Angkringan, Romantisme Murah ala Jogja

28 Agustus 2015   18:45 Diperbarui: 28 Agustus 2015   18:45 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angkringan sudah menjadi salah satu icon bagi Jogja. Walaupun warung tenda dengan penerangan seadanya ini cukup banyak di kota-kota yang lain, akan tetapi di Jogja sangat mudah sekali menemui warung angkringan. Tidak hanya didaerah perkotaan, bahkan di desa dan gang-gang perumahan pun banyak tersebar angkringan.

Warung ini sendiri disebut angkringan karena menggunakan angkring atau gerobak kayu. Ada juga yang menyebutnya kucingan, karena mereka menjual nasi kucing, yaitu nasi dengan porsi sedikit yang katanya seperti porsi untuk memberi makan kucing.

Angkringan memiliki daya tarik tersendiri bagi para penggemarnya. Selain menyajikan menu makanan dengan harga yang sangat bersahabat dengan dompet dan kantong, angkringan juga menjadi tempat yang asyik untuk ngobrol dan bersenda gurau bersama teman. Bahkan apabila kita hanya datang sendiri ke angkringan, kita bisa ngobrol dan mendapat teman baru, sesama pengunjung angkringan. Seperti layaknya di "warung kopi", semua topik pembicaraan ada di angkringan. Mulai dari politik, ekonomi, olahraga sampai dengan isu terhangat pemilihan ketua RT. Semuanya dibahas secara tajam, walaupun mungkin tidak sampai setajam silet.

Tidak semua angkringan berada di warung tenda yang sempit dengan penerangan lampu minyak. Ada juga angkringan yang memiliki tempat yang luas. Seperti Angkringan Pak Jabrik yang berada di depan kantor Koran Harian Kedaulatan Rakyat. Menu yang ditawarkan di angkringan ini sebenarnya sama dengan angkringan yang lain. Hanya saja pilihan lauknya lebih beragam. Dan yang paling menarik adalah tempat untuk duduk menikmati makannya. Para pengunjung dapat duduk lesehan di trotoar yang ada di depan KR.

Selain Angkringan Pak Jabrik, ada Angkringan Lek Man yang terkenal dengan kopi jos-nya. Angkringan ini sering juga disebut Angkringan Tugu, karena terletak di sebelah utara Stasiun Tugu Yogyakarta, stasiun kereta api utama di kota Jogja. Konon, inilah angkringan pertama di Jogja. Dimulai pada era 1950-an, Mbah Pawori, ayah Lek Man, berjualan makanan dengan cara dipikul dan berpindah-pindah di sekitar area Stasiun Tugu. Sejak tahun 1969, Siswo Raharjo, kelak lebih dikenal dengan Lek Man, mulai mewarisi usaha dagang ayahnya. Pada awalnya Lek Man masih meneruskan cara ayahnya berjualan, yaitu dengan dipikul dan berkeliling, belum menetap di satu tempat. Sekitar tahun 1970-an, barulah Lek Man mulai berjualan dengan cara mangkal di sebelah utara Stasiun Tugu Jogja.

Walaupun sederhana, angkringan Lek Man menjadi tempat beberapa pesohor di negeri ini kongkow. Mulai dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Butet Kertaradjasa, Djaduk Ferianto, Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun, Ashadi Siregar, dan masih banyak yang lainnya. Banyak sekali ide-ide kreatif dan segar yang tercetus dari para pelaku budaya tersebut dalam buaian Angkringan Tugu. Komunitas-komunitas berbasis budaya pun banyak yang lahir atau menjalani prosesnya di lokasi bersahaja ini.

Mau mengerjakan tugas atau hanya sekedar browsing sambil menikmati nasi kucing dan sate usus? Ada beberapa "angkringan modern" yang menyediakan fasilitas free wifi untuk menarik para pengunjung. Salah satu "angkringan" yang menyediakan fasilitas ini adalah Angkringan BK yang berlokasi di sebelah barat Pasar Ngasem Jogja. Disini nasi yang disajikan selalu hangat, karena tidak dibungkus kecil-kecil seperti di angkringan tradisional, melainkan langsung diambil dari magic jar. Menu yang disajikan masih seperti menu yang ada di angkringan pada umumnya, seperti sate usus, sate telur puyuh, gorengan, baceman dan lain-lain.

Seiring dengan makin menjamurnya cafe-cafe di Jogja, ada beberapa cafe yang juga menyajikan menu-menu ala angkringan. Salah satunya adalah Nglaras Raos. Kedai ini berusaha menyajikan menu angkringan dengan suasana yang lebih modern. Nuansa merah menaungi hampir semua interiornya. Dengan meja dan kursi kayu yang simpel dan sederhana, kedai ini sepintas memang lebih mirip cafe ketimbang angkringan. Dan sama seperti angkringan pada umumnya, self servis juga berlaku di tempat ini. Ada aneka gorengan dan sayuran yang bisa dipilih.Bisa juga request nasi bakar kalau ingin nasi kucing bakar. Berbagai macam jenis minuman juga ada di kedai ini. Seperti aneka wedangan, kopi dan teh.

Bagi anda yang pernah tinggal di Jogja di era sebelum tahun 2000-an, kemudian kembali lagi ke Jogja, mungkin akan merasakan asing dengan suasana Jogja yang sekarang. Kehidupan di Jogja sudah sangat berubah. Jogja makin ramai, macet dengan semakin banyaknya kendaraan bermotor. Gaya hidup sebagian masyarakatnya pun telah berubah. Mal, hotel, cafe dan resto tumbuh subur bagaikan jamur di musim penghujan. Tapi di setiap sudut Jogja, anda tetap bisa bernostalgia. Romantisme murah ala angkringan Jogja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun