Berdasarkan Survei Nasional di India pada tahun 2019-2021, tercatat 29.3% perempuan pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau kekerasan seksual oleh suaminya sendiri. Tidak hanya itu, 24% perempuan juga mengalami kekerasan fisik dan/atau kekerasan seksual oleh suaminya dalam 1 tahun terakhir. Selain itu, India juga memiliki persentase pernikahan dini yang cukup tinggi, yaitu mencapai 27.3%. Selain itu, ⅓ dari total keseluruhan pernikahan dini yang ada di dunia berasal dari India.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Menurut Oxfam Research Report pada tahun 2018, terdapat 3 pola utama yang menyebabkan kekerasan terhadap perempuan: 1.) Male entitlement- pandangan untuk memprioritaskan apa yang pantas diperoleh laki-laki dan menentukan apa yang wajib diberikan oleh perempuan, dominasi dan kontrol atas tubuh perempuan; 2.) peran gender yang kaku dan relasi kekuasaan; 3.) Keyakinan yang semakin membenarkan kekerasan terhadap perempuan yang terpinggirkan.
Di India, pola-pola seperti ini disebabkan oleh norma sosial yang mengatur peran gender untuk membatasi perempuan telah mengakar dalam masyarakat. Misalnya dalam literatur klasik Tamil kuno (Sangam) terdapat ungkapan bahwa “jiwa seorang pria berada dalam pekerjaannya di luar, sedangkan jiwa seorang wanita berada dalam merawat pria”. Sinonim untuk wanita dalam bahasa Tamil adalah "Illal" (orang yang menguasai rumah). Norma sosial budaya seperti ini masih bertahan hingga sekarang. Ungkapan seperti "rumah dan merawat anak terasa lebih manis bagi wanita, sementara bisnis dan profesi terasa lebih manis bagi pria" merupakan hal yang wajar dalam masyarakat tanpa dipertanyakan. Berbagai norma sosial budaya yang ada di India sebagian besar membatasi peran perempuan hanya untuk melahirkan, membesarkan anak, serta mengurus pekerjaan rumah tangga.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka pernikahan adalah hal yang wajib dilakukan, khususnya bagi perempuan agar memiliki kehidupan yang bermakna. Sedangkan perempuan yang memilih untuk tidak menikah dianggap tidak terhormat. Tidak hanya itu, perempuan yang berpisah atau bercerai malah dikucilkan oleh masyarakat karena pernikahan adalah hal yang sakral untuk melanjutkan keturunan dan hubungannya tidak bisa diputuskan melalui perceraian atau alasan pribadi lainnya.
Masyarakat India melihat bahwa martabat, kehormatan, dan penghargaan terhadap perempuan ditentukan oleh status pernikahan mereka. Maka dari itu, orang tua memiliki tanggung jawab untuk mengatur pernikahan agar anak perempuannya dapat hidup dengan terhormat. Setelah menikah, tugas perempuan untuk melayani mertua dari keluarga laki-laki dan melahirkan anak diakui sebagai fungsi penting dalam kehidupan perempuan India.
Oleh karena itu, pernikahan umumnya menjadi pilihan utama bagi perempuan India demi keberlangsungan hidup mereka. Dalam lingkungan sosial seperti ini, keputusan perempuan untuk tetap melajang (belum menikah, berpisah, dan bercerai) dikodifikasikan sebagai penolakan terhadap tugas yang telah diberikan untuk bereproduksi dan meneruskan aturan dan nilai-nilai sosial tradisional dari generasi ke generasi. Selain itu, perempuan yang tidak menikah kemungkinan akan menghadapi permasalahan sosial dan ekonomi jika tidak memiliki pendapatan yang memadai. Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa hampir seluruh kehidupan perempuan di India diatur oleh status pernikahannya, termasuk status mereka dalam keluarga dan masyarakat.
Sayangnya, perempuan perempuan yang sudah menikah rentan mengalami kekerasan. Diantara para perempuan yang sudah menikah dan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, sebanyak 84% mengaku bahwa kekerasan dilakukan oleh suaminya. Hal ini merupakan buah dari unsur patriarki yang terdapat dalam norma budaya dan struktur sosial di India yang konservatif. Adanya dinamika kekuasaan yang timpang antara laki-laki dan perempuan dalam hubungan pernikahan membuat perempuan rentan menjadi korban kekerasan. Persentase kekerasan dalam rumah tangga oleh perempuan di India adalah sebagai berikut: sekitar 32% perempuan di India mengalami kekerasan fisik, seksual, maupun emosional oleh suaminya. Kekerasan paling umum yang dilakukan oleh pasangan adalah kekerasan fisik (28%), diikuti dengan kekerasan emosional (14%), dan kekerasan seksual (6%). Bahkan 38-50% pembunuhan perempuan yang dilakukan oleh pasangan dapat dibilang sebagai hasil dari akumulasi berbagai kekerasan tersebut.
Meskipun begitu, karena tradisi, nilai-nilai patriarki, dan kemiskinan, keluarga seringkali lebih memprioritaskan untuk menikahkan anak perempuan dibandingkan melanjutkan pendidikan mereka. Istilah Paraya dhan, yang artinya adalah properti orang lain, sering digunakan untuk menggambarkan konsepsi terhadap anak perempuan di India: bahwa perempuan adalah beban. Kepemilikan ayah atas anak perempuan nantinya akan dialihkan kepada suaminya setelah menikah. Perempuan yang mengalami pernikahan dini biasanya terpaksa putus sekolah karena tanggung jawab domestik, kehamilan, dan kemiskinan. Sedangkan laki-laki yang berada di ruang publik mendapat dukungan untuk meraih pendidikan tinggi dan meniti karir.
Maka dari itu, pernikahan anak adalah salah satu alasan utama mengapa anak perempuan di India cenderung tidak memiliki akses yang memadai terhadap pendidikan. Misalnya pada tahun 2016, India memiliki jumlah pengantin anak tertinggi di dunia dengan total 223 juta pengantin anak, yang 102 juta di antaranya menikah sebelum usia 15 tahun sedangkan hanya 4% laki-laki di India yang menikah pada usia 18. Pemerintah India mulai memberikan kebijakan mengenai pernikahan anak pada tahun 1929 melalui Undang-Undang Pembatasan Pernikahan Anak yang melarang pernikahan anak perempuan di bawah usia 14 tahun dan anak laki-laki di bawah 18 tahun. Sayangnya, UU ini tidak menerapkan hukuman kepada para pelaku sehingga gagal dalam mengurangi secara signifikan jumlah pernikahan di bawah umur yang dilakukan. Untuk mematuhi pedoman internasional mengenai pernikahan anak, pemerintah di India memperbarui undang-undang tersebut pada tahun 2006 dengan menerapkan Undang-Undang Larangan Pernikahan Anak. Undang-undang ini sepenuhnya membatasi perkawinan anak dengan melarang perkawinan bagi anak perempuan di bawah usia 18 tahun dan anak laki-laki di bawah usia 21 tahun, dan dengan memasukkan perlindungan bagi anak perempuan yang terlibat dalam perkawinan anak ditambah dengan kebijakan untuk mengadili pelanggar. Undang-undang ini berdampak pada penurunan pernikahan anak dari 47% pada tahun 2006 menjadi sekitar 27% pada tahun 2021. Meskipun begitu, UU ini masih sulit untuk menghentikan pernikahan dini yang dipraktikkan di daerah pedesaan yang jumlahnya sebesar 56%.
Norma-norma sosial yang ada di India menunjukkan penilaian yang rendah terhadap perempuan dalam masyarakat. Pernikahan anak yang sudah mengakar dalam masyarakat memberikan bukti luasnya diskriminasi dan ketimpangan gender yang dialami perempuan. Dalam masyarakat yang melaksanakan praktik seperti ini dapat terlihat jelas minimnya penghargaan HAM bagi perempuan. Pelaksanaan norma sosial yang merendahkan perempuan dibandingkan laki-laki, menganggap perempuan tidak mempunyai pilihan lain selain menikah.
Jika dibandingkan dengan Indonesia, masih terdapat 11,2% anak perempuan yang menikah pada usia dibawah 18 tahun dan 0,5% yang menikah ketika berusia 15 tahun. Belajar dari apa yang terjadi di india, pemerintah perlu menggencarkan pencegahan pernikahan dini terutama di daerah-daerah pedesaan yang pelaksanaan norma ini sulit dilakukan. Pemerintah perlu memberikan sosialisasi mengenai bahaya pernikahan dini sambil memperluas akses terhadap pekerjaan dan pendidikan. Berdasarkan kasus yang terjadi di India, salah satu hal yang menyebabkan pernikahan dini adalah kemiskinan, maka dari itu, pemerintah harus mendorong pemerataan kesejahteraan dan pembangunan agar anak perempuan tidak dinikahkan karena keterbatasan ekonomi. Tidak hanya itu, pendidikan mengenai kesetaraan gender dan dampak positifnya bagi masyarakat juga perlu disosialisasikan kepada masyarakat khususnya para orang tua. Belajar dari India, orang tua yang masih menganut nilai patriarki adalah yang mendorong terjadinya pernikahan dini.
Saat ini, pengenalan kesetaraan gender di Indonesia sudah diberikan sejak bangku sekolah. Adanya kurikulum yang sudah memasukkan perspektif gender, misalnya pada buku paket SD yang mencantumkan pembagian pekerjaan rumah tanpa stereotip antara laki-laki dan perempuan, saya kira akan berperan pada perspektif generasi kedepannya. Tidak hanya melalui buku, upaya kesetaraan gender perlu diimplementasikan dalam berbagai aspek seperti pemenuhan kuota perempuan di parlemen, penyusunan anggaran berbasis gender, dan dukungan terhadap LSM berbasis kesetaraan gender.
Dalam menanggapi kekerasan yang dialami perempuan di Indonesia, pemerintah sudah memberikan terobosan melalui pengesahan UU TPKS pada tahun 2022 dan UU P-KDRT yang sudah disahkan sejak 2004. Saat ini, PR besar yang perlu diselesaikan pemerintah adalah mengenai penegakannya di lapangan. Meskipun UU-nya sudah disahkan sejak lama, masih banyak penanganan KDRT yang kurang memuaskan karena birokrasi aparat yang berbelit-belit. Seringkali laporan mengenai KDRT baru ditindak setelah viral di sosial media. Hal ini menunjukkan turunan kebijakan untuk melaksanakan UU P-KDRT masih belum berpihak pada korban. Mengingat umur UU ini sudah hampir 20 tahun, pemerintah melalui aparat harus menunjukkan komitmennya dalam penanganan KDRT di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H