Lelaki itu diam sejenak, kemudian menjumput sebatang rokok dan meminta perempuan menyalakan korek. Mereka duduk berhadapan namun dipisah meja kafe yang didesain agak lebar. Sehingga satu sama lain perlu sedikit meninggikan nada bicara agar saling menangkap.
"Berarti cuma kau kasihku, dik". Tiba-tiba kata lelaki.
"Lah kan tambah edan," jawab perempuan itu agak kaget.
"Iya, kan. Kalau tasybih sudah gak masuk, gantian pakai qashr."
"Hah?"
"Begini, kalau 'separuh nafas' kau anggap kurang mutakhir, ya 'cuma kau kasihku' solusinya. Ini qashr hakiki loh, bukan idhofi."
"Hah?"
"Jelas hakiki, mana mungkin aku punya kasih selain kau, dik."
"Piye toh? Bicaramu kok makin ngawur. Sudah jelas-jelas aku alergi gombal, kau masih saja pikun."
"Siapa bilang itu gombal. Pernah dengar kaulnya Mutanabbi? Kam min 'ibin qaulan sahiha, wa fatuh al-fahmus saqm."
"Wah, mulai satire. Pikirmu aku terjebak logic fallacy, gitu?"