"Dik, separuh nafasku itu kamu", kata lelaki menyanjung. Ia pikir perempuan yang hanya berjarak beberapa jengkal dari wajahnya itu akan tersipu. Ia telah jatuh cinta dengan irisan bibir yang selalu ditutupi tangan ketika terbit senyum.
Entah mengapa ia beriman penuh bahwa pandemi ini adalah potongan neraka yang dikirim langit ke bumi. Bukan saja karena banyak korban jiwa, tetapi kondisi dimana semua harus mengenakan masker sehingga senyum perempuan paling ia cinta tidak bisa leluasa ia nikmati. "Sial, benda itu menyembunyikan surga-ku," begitu keluhnya. Bibir, yang selalu diibaratkannya sebagai bocoran surga itu, adalah mesin cetak kebahagiaan, tulisnya suatu waktu di wall Meta.
"Tapi jelas tak ada hubungannya 'separuh nafas' sama surga," perempuan itu menyela tak terima.
"Jelas ada." Tandas lelaki. Tetapi sejurus kemudian ia didamprat.
"Kau kira aku polos? Tak tahu soal gombal zadul itu. Kalau memang aku separuh nafas-mu, lalu untuk hidup kau butuh berapa 'aku' ?"
"Itu kan analogi saja," belanya.
"Kau bilang itu tasybih? Macam apa pula tasybih kok cuma setengah-setengah. Nanggung, tauk," balasnya.
"Namanya majas yakan kadang suka over, lebay."
"Yatapi punyamu ga masuk dua-duanya, itu kolot. Kalau tak mampu ngegombal lebih untung nguli sana. Hahaha."
"Ah, kau ini. Mau disanjung kok mengelak. Justru karena zadul itu antik. Tuts-tust bethoveen, Chopin atau Mozart lebih dikenang Karena klasik."
"Ghundulmu klasik. Karya mereka terkenal sebab dianggap baru. Di zaman masing-masing."