Mohon tunggu...
Habib Yogatama
Habib Yogatama Mohon Tunggu... Lainnya - LMG - SBY - MLG - PKY

In God I Trust

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Profesionalitas, Bukan Pengkhianatan

21 Februari 2016   14:58 Diperbarui: 21 Februari 2016   15:31 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai seorang supporter, melihat pemain kesayangan hengkang dari tim yang saya banggakan beberapa tahun silam, sempat membuat panas dingin perasaan. Saya akui memang demikian. Hengkangnya Marcio Souza, Fabiano Beltrame, Gede Sukadana, Samsul Arif, Hingga Gustavo Lopez dari Persela Lamongan beberapa tahun silam, membuat saya seakan tidak percaya, heran, dan menyayangkan mengapa hal itu bisa terjadi. Mungkin juga tidak hanya saya saja yang merasakan hal ini.

Dan baru-baru ini, hengkangnya pemain Arema Samsul Arif (eks Persela) dan Purwaka Yudi menimbulkan berbagai macam tanggapan dan komentar dari kalangan supporter. Khususnya dari kalangan supporter yang selama ini cukup mengidolkan mereka. Tak ayal, begitu kabar ini mengapung ke permukaan. Jagad sosial media (intagram dan twitter) pun sontak ramai dipenuhi postingan dan komentar terkait pindahnya dua pemain tersebut. Saya pun tak mau ketinggalan untuk memberikan komentar maupun tanggapan, yang saya tuangkan melalui tulisan ini.

Tidak ada asap jika tidak ada api. Sepertinya peribahasa ini sesuai untuk menggambarkan berbagai macam komentar, penilaian dan tanggapan dari setiap supporter yang mengetahui perpindahan pemain kesayangannya. Terlebih pindahnya, justru ke tim lawan yang menjadi rival atau tim yang menjadi musuh bebuyutan tim kesayangannya. Munafik, pengkhianat, matrealistis adalah atribut-atribut yang sering dilontarkan oleh supporter kepada pemain-pemain yang hengkang tersebut.

Seperti halnya rivalitas antara Real Madrid dengan Bacelona. Perpindahan Luis Figo dari Barcelona ke Real Madrid sontak membuat pendukung Barca kecewa, dan mengecap Figo sebagai Pengkhianat. Bahkan saat Real Madrid dan Barcelona bertemu di La Liga, Figo yang hendak mengambil tendangan sudut dilempar potongan kepala babi oleh supporter dari mantan tim yang pernah dibelanya.  Pemain lainnya yang juga dicap sebagai pengkhianat adalah Robbin van Persie, ketika pindah dari Arsenal ke Manchester United. Zlatan Ibrahimovic yang memilih hijrah ke Inter Milan dari Juventus, padahal saat itu lagi panas-panasnya hubungan antara Juventus dengan Inter Milan. Kemudian hengkangnya Ashley Cole, tahun 2006 silam dari Arsenal ke Chelsea juga membuat dirinya dicap sebagai seorang pengkhianat oleh fans Arsenal. Memang seperti itulah dinamika warna-warni dari sepak bola.

Loyalitas, merupakan indikator kuat yang menjadi tolak ukur supporter dalam memberi atribut pengkhianat kepada pemain kesayangannya yang lebih memilih hengkang daripada bertahan. Mereka yang tidak mau bertahan otomatis dikatakan tidak loyal kepada tim, dari ketidakloyalan itulah mereka dicap sebagai pengkhianat. Sebagaimana yang telah terjadi pada pemain-pemain yang telah disebutkan di atas.

Tidak hanya di persepakbolaan Eropa, baik di Asia khususnya di Indonesia hal semacam ini juga sering terjadi. Apalagi dalam beberapa tahun belakangan ini, persepakbolaan Indonesia sedang sakit akut, parah dan sangat parah. Sistem yang amburadul, ketidak jelasan gaji, sanksi yang kurang tegas merupakan elemen-elemen mendasar yang tidak bisa berjalan dengan baik, selalu saja menimbulkan polemik.

Melihat kenyataan hengkangnya pemain kesayangan, memang sangat disayangkan. Sangat kecewa rasanya, terlebih jika perpindahannya ke tim rival. Namun, jika dilihat dari kacamata profesionalitas, hal ini sangat wajar terjadi. Apalagi di tengah kondisi carut-marutnya persepakbolaan Indonesia. Tentunya ada banyak faktor dan pertimbangan yang membuat mengapa pemain tersebut memilih hengkang.

Menurut hemat saya, seharusnya atribut pengkhianat tidak seyogyanya harus disematkan kepada pemain yang memilih hengkang dari tim yang dibelanya. Sebagai supporter yang dikatakan dewasa, kita harus menghormati keputusan yang diambilnya. Tentunya, ada banyak faktor yang menyebabkan mengapa pemain yang bersangkutan harus pergi, ada banyak pertimbangan, ada berbagai macam hal yang melatar belakanginya, tidak serta merta pemain itu memilih hengkang dengan sendirinya. Siapa tahu pemain-pemain tersebut sudah tidak diperpanjang lagi kontraknya. Siapa tahu mereka diputus kontraknya. Siapa tahu atas alasan keluarga mereka memustuskan untuk hengkang. Siapa tahu mereka tidak diinginkan lagi tenaganya oleh manajemen tim, dan lain lain.

Kecewa memang iya. Namun, saya merasa dengan menyematkan atribut pengkhianat kepada mereka sangat bertolak belakang dari hati nurani. Terlebih pemain-pemain tersebut tidak pernah berinteraksi langsung dengan kita. Kita hanya menyaksikan mereka dan memberikan dukungan kepada mereka saat berlaga dilapangan.

Pun juga tidak sebanding dengan jerih payah dan perjuangannya di lapangan yang dikhususkan untuk memberikan hiburan bagi kita. Jika mereka ikut andil dalam memberikan hasil kemenangan kepada tim kebanggaan kita, kemudian kita ikut senang dan gembira karena tim yang kita dukung menang atau juara, tidak cukup satu, dua ataupun tiga kali saja, bahkan hingga berturut-turut. Lantas apakah mereka pantas kita nilai sabagai pengkhianat?. Profesionalitas bukan bentuk pengkhianatan.

Malang, 18/ 2/ 2016

10.30 PM

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun