Indonesia sebagai salah negara kepulauan terbesar yang memiliki wilayah perairan sekitar 75% dari wilayah kedaulatannya yang bersinggungan beberapa negara.Â
Sehingga keberadaan perlindungan terhadap wilayah perairan atau laut di Indonesia dianggap sangat penting untuk mengingat besarnya peluang bagi negara lain untuk mengambil keuntungan atas wilayah perairan Indonesia.Â
Pada 10 Desember 1982 di Teluk Montego Jamaica, telah disahkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Hal itu menunjukkan pengaturan kedaulatan negara atas wilayah laut sangatlah penting.
- Mengacu Deklarasi Djuanda, dapat disimpulkan bahwa Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terkandung di laut sampai kedalaman 200 meter pada wilayah landas kontinen. Batas laut teritorial Indonesia sejauh 12 mil dari garis dasar lurus dan perbatasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil dari garis dasar laut. Wilayah perairan Indonesia merupakan salah satu wilayah perairan yang kaya akan sumber daya alam termasuk ikan yang memberikan keuntungan secara ekonomi. Kekayaan tersebut mendorong banyak pihak yang tidak berdaulat atas wilayah perairan Indonesia melakukan aktivitas ekonomi seperti penangkapan ikan diwilayah kedaulatan Indonesia.
Salah satu kasus atas sengketa hukum laut yang menjadi masalah adalah illegal fishing. Kasus yang sempat banyak dibicarakan adalah penangkapan kapal asing pada kamis tanggal 30 Oktober 2014, pukul 16.00 WIB yaitu KM. Laut Natuna 28 alias KM Sudhita dengan bendera Thailand yang beroperasi di perairan Laut Natuna pada posisi 010 56.000' LU -- 1060 49.000' BT. yang merupakan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia di Zona Ekonomi Ekonmi Eksklusif Indonesia (ZEEI) tepatnya di perairan laut Cina Selatan/peraian Natuna wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Kapal tersebut tertangkap saat menggunakan alat penangkap ikan trawl dan ditemukan hasil tangkapan ikan campuran sekitar 100 Kg.
Dalam kasus yang diuraikan diatas diatur dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Zona Ekonomi Eksklusif dimaksud adalah suatu zona selebar tidak lebih dari 200 mil dari garis pangkal. Di zona negara pantai mempunyai hak-hak eksklusif dan yurisdiksi tertentu. Hak-hak berdaulat itu yakni hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati, diperairan diatas dasar laut dan dari dasar laut dan tanag dibawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi zona ekonomi tersebut. Yurisdiksi yang dimiliki negara pantai atas ZEE-nya seperti yang di dalam pasal 56 Konvensi 1982, yakni :
- Pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan
- Riset ilmiah kelautan
- Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
- Tindakan pencurian ikan yang terjadi selama ini sebagian besar pelakunya nelayan asing. Modus pencurian ikan oleh nelayan asing biasanya menggunakan bendera Indonesia ataupun menggunakan anak buah kapal atau awak dari Indonesia. Pelanggaran juga dilakukan oleh investor atau perusahaan asing yang berdomisili di Indonesia dan memasok ikan tangkapan hasil pencurian ikan. Menteri KP menyampaikan, bahwa jumlah tangkapan ilegal untuk semua jenis ikan sebuah kapal asing di perairan Indonesia bisa mencapai 300 ton hingga 600 ton per tahun. Kondisi ini menyebabkan Indonesia diperkirakan rugi sekitar US$15 miliar-US$25 miliar per tahunnya. Ketentuan internasional yang memberikan limitasi terhadap subjek orang yang melakukan pelanggaran di wilayah perairan ZEE diatur dalam UNCLOS, yang diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hukum Laut). Ratifikasi terhadap UNCLOS, membawa konsekuensi logis bagi Indonesia untuk melaksanakan amanat mengenai hak maupun kewajiban dalam pengelolaan wilayah kelautan berdasarkan hukum internasional. Implikasi ratifikasi UNCLOS 1982 mengharuskan Indonesia menjaga kekayaan sumber daya alam di laut, serta memanfaatkannya dengan optimal bagi kepentingan nasional dan seluruh rakyat Indonesia. Apabila pembuatan perjanjian telah sampai tahap pengikatan (ratifikasi), maka regulasi yang mempengaruhi tidak hanya ketentuan hukum internasional saja (berkaitan juga dengan pemenuhan ketentuan hukum nasional suatu negara).
- Tindak pidana yang terkait dengan kebijakan penenggelaman kapal adalah kapal perikanan berbendera asing tanpa dilengkapi Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), maupun terbukti melakukan pencurian dan/atau membawa ikan dalam wilaayah perairan Indonesia secara tidak sah. Hal itu sesuai dengan Pasal 27 ayat (2) pada UU Perikanan, yang menyatakan bahwa setiap orang yang memiliki dan atau mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera asing yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia wajib memiliki SIPI. Pasal 27 ayat (2) diperkuat dengan adanya ketentuan sanksi dalam Pasal 93 ayat (2), yang isinya menjelaskan bahwa setiap pemilik dan atau pengoperasi kapal penangkapan ikan berbendera asing tanpa dilengkapi SIPI, dapat dipidana penjara paling lama 6 tahun serta denda maksimal 20 miliar rupiah.
- Dalam hal pencurian ikan secara illegal pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikana menindak tegas illegal fishing yang dilakukan oleh kapal berbendera asing ini dengan cara ditenggelamkan. Kebijakan pemerintah (KKP) menindak tegas pencuri ikan dengan menenggelamkan kapal asing, sudah dilakukan sejak tahun 2003. Tindakan tersebut menurut kajian tidak melanggar ketentuan nasional (UU Perikanan dan UU No. 6/1996) ataupun internasional (UNCLOS). Berdasarkan hasil identifikasi hukum tidak ada pasal yang melarang adanya penenggelaman kapal pencuri ikan, meskipun ada opsi penghibahan/dilelang. Ketentuan nasional dan internasional, secara tegas mensahkan tindakan pemerintah (KKP) melakukan penenggelaman kapal bagi pelaku illegal fishing. Proses penenggelaman kapal pencuri ikan selama ini telah mematuhi prosedur yang telah ditetapkan peraturan nasional. Menurut hukum yang berlaku, proses penindakan ini bisa dilaksanakan seketika maupun melalui pengadilan. Kebijakan penenggelaman kapal adalah salah bentuk keseriusan pemerintah memberantas isu global IUU Fishing. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga wilayah serta kedaulatan; menimbulkan efek jera; dan mengamankan laut dari penjarahan pihak asing. Pelaksanaan penenggelaman kapal pencuri ikan merupakan upaya pemerintah menunjukkan kewajiban melindungi wilayah kedaulatan perairan beserta SDI yang terkandung di dalamnya.
- Kebijakan tersebut tidak akan memperburuk hubungan antarnegara, karena tindakan warga suatu negara yang melakukan kejahatan di negara lain tidak dibenarkan. Tindakan kriminal pencurian ikan pada wilayah WPP Indonesia, jika dibiarkan menyebabkan kerugian yang semakin besar bagi pendapatan negara. Kapal asing yang ditenggelamkan merupakan kapal tidak berizin untuk menangkap ikan danmelanggar prosedur yang benar. Penenggelaman kapal pencuri ikan dilakukan atas dasar ketentuan internasional serta nasional yang sah dan sebagai upaya menjaga kekayaan alam negara. Kebijakan pemerintah (KKP) ini tetap harus memperhatikan prosedur hukum yang berlaku, keselamatan pelayaran, dan memastikan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Hal ini diperlukan untuk menghindari adanya penolakan/protes dari negara asal, maupun pihak-pihak yang tidak setuju dengan adanya kebijakan penenggelaman terhadap kapal yang terbukti melakukan pencurian ikan.
Sumber :
Hukum Internasional Kontemporer -- Jawahir Thontowi, SH., Ph.D.
                              Pranoto Iskandar, S.H
Pengantar Hukum Internasional -- Mochtar Kusumaatmaatmadja ; Etty R. Agoes
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H