Indonesia memiliki keanekaragaman sumber daya alam, seperti hasil bumi yang melimpah. Kota Samarinda, Kalimantan Timur ditetapkan oleh kementrian ESDM menjadi salah satu wilayah pertambangan. Kalimantan merupakan penghasil batubara utama dan terbesar di Indonesia. Dengan begitu kebijakan mengenai ketetapan pengelolaan pertambangan batu bara ditetapkan oleh Pemerintah Kota Samarinda untuk mengatur sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.
Penduduk di Samarinda memiliki jumlah tertinggi di Kalimantan Timur. Jumlah penduduk yang tinggi disertai dengan wilayah pertambangan  yang luas. Hal ini mengakibatkan ketersediaan ruang terbuka hijau hanya tersisa 5% saja. Dalam UUU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mngatur bahwa ruang terbuka hijau setidaknya memiliki minimal 30% dari wilayah kota.
Dampak dari perizinan yang diberikan oleh pemerintah untuk tambang membuat tumpang tindih dengan pemukiman warga. Penambangan batubara yang dilakukan mengakibatkan lubang bekas galian tambang menelan korban anak-anak yang tenggelam dalam bekas galian tambang tersebut. Lubang bekas galian tambang akan membentuk kolam yang luas serta dalam akibat adanya curah hujan yang tinggi.Â
Pemerintah yang memiliki wewenang menganggap remeh permasalahan seperti ini. Tak heran jika kasusnya akan berhenti ditengah jalan, dari pihak keluarga pun hanya bisa mengikhlaskan kepergian anaknya. Hukuman yang diberikan juga tidak menimbulkan efek jera bagi perusahaan tambang yang melanggar.
Masyarakat melakukan aksi protesnya terhadap perusahaan tambang dan juga pemerintah atas kejadian yang terus meresahkan ini. Hak gugatan yang dilakukan sekelompok masyarakat ini tercantum dalam Pasal 91 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Pada inti gugatannya yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak menuntut ganti rugi berupa materi namun berbentuk pemulihan dari kerusakan lingkungan akibat adanya aktivitas pertambangan.
Sekelompok masyarakat yang merepresentasikan masyarakat-masyarakat lainnya yang terkena dampak negatif akibat adanya aktivitas pertambangan, membentuk sebuat gerakan kolektif yang didasarkan untuk kepentingan bersama dengan nama "Gerakan Samarinda Menggugat". Gerakan ini bertujuan untuk memperjuangkan kembalinya lingkungan yang sehat dan nyaman, sehingga aktivitas pertanian, perkebunan, serta kehidupan sehari-hari warga setempat berjalan denga lancar. Melalui gerakan ini masyarakat kompak dalam menuntut kepada pemerintah atas janji yang diberikannya pada saat kampanye politik.Â
Masyarakat berusaha untuk menuntut haknya kepada pemerintah yang memiliki wewenang, namun ternyata pemerintah tidak berpihak kepada masyarakat.
Jika permasalahan diatas dikaitkan dengan teori gerakan sosial Charles Tilly, mengenai sebuah tindakan yang berkelanjutan, masyarakat kota Samarinda membentuk gerakan kolektif untuk menyampaikan tuntutannya atas hak yang dimilikinya. Gerakan tersebut berupaya mewujudkan keinginan bersama yang direpresentasikan melalui perwakilan dari masyarakat. Charles Tilly mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan secara bertahab dan berkelanjutan, perlu disertai dengan niat serta tekad yang kuat sebagi bentuk bekal yang harus dipersiapkan. Tindakan yang dilakukan berbentuk tindakan kolektif yang bertujuan untuk kepentingan bersama yang dirugikan oleh para pemegang kekuasaan.
Biografi Charles Tilly
Charles Tilly merupakan sosiolog kelahiran Lombard, Illinois, Amerika pada 27 Mei 1929. Â Charles Tilly merupakan tokoh sosiolog modern yang banyak memberikan kontribusinya terhadap sosiologi. Pada tahun 1950, Â Charles Tilly berhasil menyelesaikan studinya di Harvard dengan gelar yang disandang yaitu Bachelor of Arts magna Cumlaude. Setelahnya Tilly menyelesaikan gelar Doktor of Philosophy in Sociologi dari Harvard pada tahun 1958.
Dalam proses perjalanannya, pemikiran Charles Tilly banyak dipengaruhi oleh beberapa tokoh diantaranya Karl Marx, Max Weeber, Herbert Spencer, dan para tokoh sosiolog yang lain. Charless Tilly menghasilkan karya-karyanya yang ia tulis dalam beberapa judul, seperti Contentious Politics (2006) , Durable Inequality (1998), Why?(2006), Trust and Rule (2005) dan lain-lain.