Abimanyu dan Baskoro akan mengunjungi Perpustakaan Nasional untuk pertama kalinya, mereka terlihat antusias karena Perpustakaan Nasional salah satu tempat yang Baskoro ingin kunjungi.
"Nyu, sudah tak sabar aku" bisik Baskoro sembari memantul-mantulkan kakinya,padahal saat ini masih belum diperbolehkan untuk berbicara di KRL.
"Stt, nanti saja bicaranya. Hentikan itu Baskoro, kau mengganggu orang yang disebelahmu kalau kakimu memantul-mantul"
Baskoro menuruti perkataan sahabatnya itu, ia kembali tenang dan menanti dengan sabar KRL berhenti di stasiun tujuan. KRL mulai penuh dengan penumpang, Abimanyu dan Baskoro menatap satu-satu penumpang, melihat apakah ada penumpang prioritas yang perlu tempat untuk duduk.Â
Baskoro melihat perempuan muda dengan bross ditasnya, bross itu bertuliskan "Ibu Hamil". Baskoro buru-buru bangkit sambil mengamit baju perempuan muda itu dan berkata "Mbak, duduk di sini saja" perempuan itu mengiyakan dan menggumamkan kata terima kasih.Â
Abimanyu senang melihat Baskoro yang peka terhadap sekitarnya, dahulu Baskoro sering acuh tak acuh dengan sekitarnya, hal yang bagus melihat Baskoro mulai berubah dari kebiasaan lamanya.
Setelah tiba di stasiun tujuan, mereka segera mencari Busway menuju Perpustakaan Nasional. Baskoro terdiam sepanjang perjalanan, ia melihat keluar Busway dan termenung. Abimanyu terheran-heran melihat Baskoro yang duduk diam seperti itu.
"Heh, kenapa kau Koro?" Abimanyu berkata pada Baskoro yang tetap diam menatap keluar jendela. "Heh, kesurupan kau ya" Abimanyu mengganggunya. Akhirnya Baskoro menatap Abimanyu, matanya kosong, melihat sahabatnya aneh seperti itu Abimanyu menjambak rambut Baskoro.
"Apa sih?" Jawab Baskoro sewot, tidak terima rambutnya dijambak sembarangan oleh Abimanyu. Yang diteriaki cuma cengengesan, lalu dengan santai berkata.
"Ya aku takut kau kesurupan, apa yang mengganggu pikiranmu?"
"Ini Jakarta, Jakarta ternyata bagus ya? Jakarta dalam ingatanku itu gang sempit, got mampet, pengamen, waria, kemiskinan, banjir besar. Setelah pindah Ke Tangerang, aku tinggal di Komplek, aku tak lagi melihat Jakarta untuk waktu yang lama. Melihat wajah Jakarta yang asri dan rapi seperti ini aku jadi terkesima, seolah Jakarta memang seramah ini sejak dahulu."