Mohon tunggu...
Elfriska Sihombing
Elfriska Sihombing Mohon Tunggu... -

Mahasiswi kedokteran yang ingin jadi dokter. Ga muluk-muluk... pengen jadi dokter smart..um.. yang cantik (kalo yang ini relatif), dan bisa travelling keliling dunia :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saya, Maafkan Saya ya..

24 September 2012   09:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:48 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Belajar mengenal diri, terkaget-kaget, bahwa saya tidak seperti apa yang saya pikirkan, berusaha menerima diri sendiri dan akhirnya berdamai dengan diri ternyata tidak mudah.

Tema berdamai dengan diri sendiri sudah pernah mampir di telinga saya (kalau tidak salah, tahun 2010 di acara Natal salah satu BUMN di kota tempat saya tinggal). Waktu itu saya hadir untuk mengisi acara dengan persembahan lagu yang dinyanyikan oleh saya dan teman-teman grup vokal yang bernama Alter Singers. Pada kesempatan yang sama, si pembicara, yang masih jelas sekali dalam ingatan saya adalah seorang ibu muda berdarah Karo, membahas tentang pentingnya berdamai dengan diri sendiri sebelum berdamai dengan sesama. Pembahasan yang lumayan panjang itu berlalu begitu saja tanpa menggoreskan makna yang dalam di hati dan pikiran saya. Saya sadar apa yang beliau bicarakan itu penting dan baik, tapi toh jiwa saya tidak menangkap tema itu sebegitu saratnya hingga menggugah diri saya yang ternyata pada saat itu sedang begitu tidak berdamai dengan diri sendiri.

Ternyata orang bisa begitu buta, atau mati rasa sampai-sampai tidak menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam dirinya. Sekarang saya baru tau, ternyata celik atau tidaknya jiwa kita pun bahkan butuh campur tangan Sang Kuasa, karena saya sangat yakin kalau saat itu saya benar-benar mendengarkan bahasan yang dibawakan oleh ibu setengah baya itu dengan serius, tapi nyatanya tidak terusik juga.

Heran dengan bagaimana Tuhan bekerja di dalam diri saya, dan ternyata saya baru mulai merenungkan tema ini beberapa tahun setelah mendengar ulasan tentang hal itu. Awalnya saya tidak benar-benar sadar bahwa saya sedang berhadapan dengan hal ‘berdamai dengan diri sendiri’ dan mulai mendapati bagian-bagian kecil dalam diri saya di tengah-tengah pergaulan dan konflik yang terjadi dalam hidup sehari-hari.

Saya seperti baru berkenalan dengan orang asing yang adalah saya sendiri dalam beberapa hal. Saya mulai menemukan ‘saya’ dan seringkali tidak dapat menerima ‘saya’ sebagai ‘saya’. Ternyata saya tidak se-mengenal diri saya seperti yang saya pikirkan.

Nampaknya selama ini saya cenderung membentuk diri saya. Membangunnya, menitinya, dan menyusunnya sedemikian rupa seperti ‘saya ideal’ versi saya. Saya membaca buku-buku, bertukar pikiran dengan orang-orang, bergaul, dinasehati, dididik, dan menyimpulkan bahwa yang baik itu seperti ini loh... dan saya berusaha menjadi seorang pribadi yang saya pikir ‘baik’. Saya meracik kesimpulan-kesimpulan sendiri dan berusaha merealisasikannya dalam kehidupan saya. Tanpa saya sadari saya sedang membangun citra diri yang saya desain sendiri.

Bertahun-tahun dalam pergelutan dan meditasi yang menghabiskan waktu yang cukup panjang, kok rasanya saya mulai lelah mewujudkan pribadi ‘ideal’ seperti yang saya impikan. Saya lupa ternyata saya bukan harus membangun diri saya (karena diri saya memang sudah ada), tapi justru harus kembali pada siapa saya sebenarnya. Salahnya saya mencari aktualisasi diri dengan kekuatan saya sendiri. Saya mencari, merenungkan, dan memikirkan banyak hal dan dengan tidak senonoh menyimpulkan sesuatu sebagai kebenaran dengan brutal dan memegangnya sebagai suatu prinsip yang kadang saya ketahui (di kemudian hari) bahwa prinsip itu salah.

Akhirnya saya menyadari bahwa ternyata menemukan bahwa apa yang kita pegang teguh selama bertahun-tahun dalam waktu yang lama itu adalah sesuatu yang kurang tepat itu membutuhkan kerendahan hati yang amat mendalam. Bukan hanya itu, rasa malu terhadap diri sendiri itulah yang sulit diajak berdamai.

Ternyata pernyataann yang berbunyi, turutilah nasehat orang tuamu itu jauh lebih banyak benarnya ketimbang (saya tidak naif, karena dalam beberapa kasus langka ada saja yang ‘salah’ – ini pun saya tulis dengan tanda kutip- ..manusia toh macam-macam kan..) salahnya. Kenapa? Karena mereka telah menjalani proses yang sama jauh lebih dulu sebelum kita dan sudah belajar dari kesalahan-kesalahan yang belum kita buat.

Nah, ego orang muda yang membawa-bawa ‘jiwa berani’ dan pikiran yang katanya ‘terbuka’ inilah yang begitu arogan untuk menundukkan kepala kepada apa nasehat-nasehat yang dikatakan orang tua. Orang muda dengan segala kekuatan dan kesegarannya cenderung lebih berani atau mungkin lebih tepatnya ‘nekad’ dalam bertindak.

Singkat cerita, saya sekarang sedang belajar menerima diri saya dan menjalani proses berpulang yang artinya saya sedang kembali kepada siapa saya yang seharusnya. Setelah dipikir-pikir, ternyata saya tidak perlu membangun apa-apa. Saya hanya perlu bertanya dan mencari tahu siapa saya sebenarnya dan ‘pulang’. Proses pulang ini tentu tidak membutuhkan upaya segigih pembentukan citra diri yang selama ini saya geluti. Saya hanya perlu belajar rendah hati dan menerima diri saya yang sebenarnya, menerima kekurangan dan belajar memaksimalkan apa yang ada pada saya (bukan apa yang saya ingin capai di luar kemampuan diri saya sesuai versi buku-buku yang saya baca) dan akhirnya berdamai dengan diri itu sendiri.

Satu – satu puzzle-puzzle dalam diri saya mulai rapih tersusun dan saya rasa saya tidak perlu berkompetisi dengan seseorang di sebelah kanan atau kiri saya, karena kapasitas saya dan mereka tentu berbeda-beda. Saya tidak perlu berkompetisi dengan siapapun. Yang saya harus lakukan adalah menggali lebih jauh tentang diri saya dan memberdayakannya semaksimal mungkin yang saya mampu kerjakan dengan tetap bertanya kepada Si Pencipta, apakah memang saya sedang ada di dalam track yang benar.

Saya harap puzzlenya sudah tersusun rapih sempurna saat peluit akhir perlombaan sudah ditiup dan saya boleh melihat satu-satunya senyum yang terhampar di wajah Pencipta saya adalah senyum kepuasan.

Saya juga tidak menutup kemungkinan bahwa apa yang saya ketahui sekarang akan terelakkan di kemudian hari dan nampaknya saya harus mempersiapkan hati yang luas untuk senantiasa siap dikoreksi setiap hari. Saya akan dengan senang hati menerima rahasia-rahasia baru yang dirasa pantas untuk saya ketahui dan saya berdoa agar pada saatnya rahasia-rahasia itu disisipkan dalam kehidupan saya sehari-hari, saya mampu menerimanya dengan rendah hati.

Selamat berpulang.. :)

Bandar Lampung, 24 September 2012

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun