Mohon tunggu...
Fritz Berkanis
Fritz Berkanis Mohon Tunggu... -

4 fresh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kemaslahatan ada di Jagung Rebus

17 September 2013   14:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:45 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sederet pondok tua sepanjang jalan lurus bertikungan kecil.Di kiri dan kanan jalan terbentang areal persawahan yang luas. Mama Karolina salah satu penghuni pondok-pondok tua itu. Bersama suaminya bapak Gabriel Manek Kobo, 56 tahun, mereka setia dengan jualan jagung rebus. Rutinitas sepanjang masa. Setiap hari, setiap bulan, setiap tahun. Beli jagung, rebus jagung, jual jagung, dapat uang. Beli jagung lagi…dan seterusnya, siklus itu berputar seperti jarum jam sepanjang tahun sampai mati.

Laju mobil dikurangi. Lalu berhenti di pinggir jalan, tepat di depan sebuah pondok tua. Sebegitu cepat dia berlari. Mendekat ke pintu mobil. Menenteng sedulang jagung rebus. “jangung rebus…jagung rebus…jagung ko…?” begitulah keseharian mama Karolina Muti, kelahiran tahun 1967, perempuan setengah baya ini merajut hidup sebagai penjual jagung rebus di jalan trans timor. Tepatnya di titik kilometer 34 arah Kota Atambua. Nama tempatnya Motamaro.

[caption id="attachment_266788" align="aligncenter" width="300" caption="Tempat berjualan jagung muda rebus. Tepatnya di Motamaro, di jalan lurus berujung tikungan kecil"][/caption] Ada sederet pondok tua sepanjang jalan lurus bertikungan kecil.Di kiri dan kanan jalan terbentang areal persawahan yang luas. Mama Karolina salah satu penghuni pondok-pondok tua itu. Bersama suaminya bapak Gabriel Manek Kobo, 56 tahun, mereka setia dengan jualan jagung rebus. Rutinitas sepanjang masa. Setiap hari, setiap bulan, setiap tahun. Beli jagung, rebus jagung, jual jagung, dapat uang. Beli jagung lagi…dan seterusnya, siklus itu berputar seperti jarum jam sepanjang tahun sampai mati.

[caption id="attachment_266792" align="aligncenter" width="300" caption="Sebagian dari penikmat jagung muda rebus di Motamaro"]

1379403148151815425
1379403148151815425
[/caption] Enam puluh delapan tahun Indonesia merdeka, lima puluh enam tahun bapak Gabriel hidup, dan 46 tahun sudah mama Karolina menginjak usia itu, perlukah kita tanyakan kepada mereka, “berapa banyak yang telah kamu berikan untuk Negara?”

[caption id="attachment_266794" align="aligncenter" width="300" caption="Mama Karolina dan bapak Gabriel sedang mempersiapkan cabe keriting merah sebagai penyedap rasa bagi penikmat jagung muda rebus yang ingin menikmati di tempat"]

1379403308499770237
1379403308499770237
[/caption] Negara yang merdeka, telah mengkondisikan mereka untuk hidup, lalu bersatu, dan melahirkan tujuh orang anak. Anak pertama laki-laki, tamat es-em-a, kini telah menikah dan memiliki dua putra. Anak kedua laki-laki, tamat sekolah dasar – masih lebih baik dari bapaknya yang hanya kelas tiga sekolah dasar – lebih memilih pekerjaan ojek yang lebih cepat mendatangkan uang. Anak ketiga, perempuan, sedang duduk di kelas tiga SMEA. Anak keempat perempuan, duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. Anak kelima, laki-laki, kelas empat sekolah dasar. Anak keenam, perempuan, kelas dua sekolah dasar. Dan anak ke tujuh laki-laki, sedang di bangku kelas satu sekolah dasar.

[caption id="attachment_266797" align="aligncenter" width="300" caption="Setumpuk jagung muda yang siap direbus. Ditutup dengan kain biar tidak layu terpanggang panas matahari"]

13794034691586201907
13794034691586201907
[/caption] Siapa yang peduli dengan mereka, dan apa juga peduli mereka dengan siapa-siapa? Don’t care! Mama Karolina bilang, “kami tinggal di sini dan kerja seperti ini sampai mati, hahahahaaaa….” Ketawa lepas tanpa beban.

[caption id="attachment_266800" align="aligncenter" width="300" caption="Sedandang jagung muda sedang dirrebus, akan siap menunggui para penikmat hingga jam delapan malam"]

1379403616219812806
1379403616219812806
[/caption] Negara, melalui menteri pertanian, melalui dinas pertanian di tingkat propinsi sampai tingkat kabupaten, peras otak berwaktu-waktu, bahkan keringat berdarah-darah, rencana strategis sepanjang tahun, program kerja berkitab-kitab, musyawarah perencanaan pembangunan dari tingkat er-te sampai level Jakarta, saban waktu sepanjang tahun, semuanya hanya satu tujuan: demi kemaslahatan masyarakat. Tapi sayang, sejuta mama Karolona dan sejuta bapak Gabriel yang terhempas sporadis di pertiwi ini pernah tersentuh program kerja yang bagus-bagus itu? Tanyakan kepada mereka. Yang pasti, mereka tak punya waktu untuk menjawab, karena lebih sibuk rebus jangung, jual jagung rebus, dapat uang…dan rebus jagung lagi. Sebuah mimpi tentang kemaslahatan yang masih jauh panggang dari api. Jangan salahkan Negara, mereka pun tidak merasa diri bersalah. Tapi yang nyata di area parkir, orang-orang yang mengurus mereka, turun dari mobil mewah, plat merah, beli jagung rebus, masih tawar menawar harga lagi. Coba kontekskan tabiat ini pada urusan proyek! Ehmm!

Begitu banyak mama Karolina dan bapak Gabriel yang terlempar sporadis di Nusantara ini. Performa elitis dengan mobil mewah plat merah pun tak sedikit kita jumpai di mana-mana. Bahagia kah kita dengan kontra pemandangan seperti?

[caption id="attachment_266801" align="aligncenter" width="300" caption="Bapak Gabriel dalam sebagian kesehariannya"]

13794037601380424277
13794037601380424277
[/caption] Mama Karolina butuh modal antara Rp.400.000 sampai Rp.500.000 untuk membeli jagung muda di Kota Atambua. Sembilan bulir sepuluh ribu rupiah. Setelah direbus, dijualnya dengan dua ribu perak per bulir. Setiap dua hari, jagung habis terjual. Kisaran keuntungan setiap dua hari, antara Rp.300.000 (saat sepi) sampai Rp.500.000 (saat ramai). Luar biasa!

Kalau seperti ini, masih boleh kah kita mengintervensi kehidupan mama Karolina? Dengan cara apa kita masuk ke kehidupan mama Karolina dan bapak Gabriel, untuk berapi-api bicara tentang isu gender, berbusa-busa berteori tentang anggaran publik yang pro rakyat, atau tentang hak partisipasi di dalam pembangunan desa, dan sederet isu strategis lain yang biasa lahir dari hasil workshop berminggu-minggu di hotel berbintang. Kita butuh waktu untuk merubah mindset dan pola mereka. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah, atau ternyata tidak mudah, atau sebetulnya tidak mudah.

[caption id="attachment_266806" align="aligncenter" width="300" caption="Mama Karolina dengan senyum setengah umurnya"]

13794039212000221467
13794039212000221467
[/caption] Masih sempat-sempatnya mama Karolina bercerita tentang kelebihan-kelebihan di masa sekolahnya. “Saya hafal Pembukaan UUD 1945 sampai hari ini (sambil melafalkannya dengan cepat dan lancar – namun secepatnya saya hentikan karena rasanya terlalu panjang). Anak-anak sekarang tidak hafal lagi itu. Apalagi guru-guru” cerita mama Karolina sambil menyortir setumpuk cabe merah keriting untuk ‘di-blender’ oleh bapak Gabriel dengan cobe berukuran sedang. Cabe keriting ini sebagai penyedap rasa bagi setiap pembeli yang ingin makan di tempat.

Selamat siang mama, selamat siang bapak, kami pamit. Kami kabur dengan selarik cerita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun