Mendengar kata "kista"...
Mungkin sebagian orang yang belum paham apa maksud dari kata ini akan merasa biasa aja. Namun, sebagian lainnya yang tau kalau kata ini merupakan salah satu jenis penyakit, akan menganggap kalau penyakit ini adalah penyakit yang cukup mengerikan. Gimana enggak, Survei Demografi Kesehatan Indonesia menyebutkan bahwa angka kejadian kista di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 37,2%, yaitu sebanyak 23.400 orang mengalami kista dan sebanyak 13.900 orang meninggal karena kista.
Sebenarnya, apa sih kista itu? Kista adalah sebuah penyakit berupa kantung atau benjolan pada tubuh yang terbentuk dari jaringan membran di bawah kulit yang berisi cairan, udara, nanah, atau zat padat lainnya. Contohnya ada kista baker, atau kista yang terbentuk dari cairan di belakang lutut karena cedera, kista ganglion yang tumbuh di area persendian dan berisi cairan, dan juga kista kalazion yaitu kista yang tumbuh di kelopak mata atas karena penyumbatan pada kelenjar minyak kelopak mata. Meskipun pertumbuhannya lambat, apabila kista dibiarkan maka kista juga bisa bertumbuh membesar sehingga mengganggu fungsi organ yang lainnya lho! Nah, ini nih yang bahaya karena dianggap nggak ganas, jadinya dibiarkan aja dan semakin membesar deh. Selain tumbuh di bawah kulit, kista juga bisa tumbuh di bawah organ dalam tubuh seperti ovarium atau yang biasa kita dengar dengan sel telur. Kista ovarium ini dibagi menjadi dua jenis utama, yaitu:
1. Kista fungsional: kista yang terbentuk karena adanya gangguan hormon. Oleh karena itu, kista ini bisa kembali kecil lagi jika gangguan hormonnya sudah kembali normal. Dalam artian lain, kista ini nggak bahaya ya.
2. Kista patologis: kista yang terbentuk karena pertumbuhan sel yang tidak normal. Nah ini nih yang cukup bahaya karena dia gak bisa kembali seperti semula lagi. Kista ini dibagi menjadi kista serosum (berisi cairan kental), kista musinosum (berisi jaringan lemak), kista dermoid (berisi rambut dan tulang rawan), dan kista coklat atau endometriosis (berisi darah).
Dari dua jenis kista tersebut, perbedaannya juga nggak bisa dilihat dengan penglihatan awam atau sepengelihatan mata aja. Terus gimana dong caranya? Nah ini nih, waktunya kita butuh bantuan alat radiologi! Alat yang bisa dipakai di antaranya ada USG, CT-Scan, dan juga MRI. Oke sebelum lanjut, kenalan dulu ya sama sama alat MRI. Magnetic Resonance Imaging atau yang biasa disebut MRI ini adalah alat yang pakai teknologi gelombang magnet untuk melihat bagian organ dalam tubuh kita. Nah mulai sekarang, kita akan masuk ke pembahasan cara MRI agar bisa mendeteksi penyakit endometriosis ya....
Endometriosis adalah suatu kondisi peradangan ginekologis umum di mana jaringan yang mirip dengan lapisan rahim tumbuh di luar rahim. Penyakit ini biasannya menyerang pada wanita usia reproduksi dengan prevalensi sekitar 10%. Pasien dengan kondisi endometriosis dapat hadir dengan gejala ataupun tanpa gejala. Pasien hadir dengan gejala, seperti nyeri panggul kronis dan interfilitas. Oleh karena itu, pemeriksaan yang cocok untuk mendiagnosa penyakit ini adalah MRI. Jenis pemeriksaanya yaitu MRI pelvis (panggul).
Pada pemeriksaan ini memberikan gambaran organ di dalam rongga panggul dan menunjukkan pertumbuhan endometrium yang mungkin memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pada MRI pelvis (panggul) dapat menggambarkan organ reproduksi Wanita, seperti ovarium, vagina, maupun saluran rahim. Pemeriksaan MRI pelvis ini, dapat melihat hasil yang kompleks seperti kista, massa ekstraperional dan adanya invasi ke dalam usus, dan septum rektovaginal. Pencitraan MRI pelvis dapat dilakukan dengan magnet 1.5 atau 3 Tesla menggunakan kumparan permukaan array yang bertahap dengan resolusi tinggi untuk meningkatkan resolusi.
Persiapan pasien dengan klinis endometriosis ini biasannya membutuhkan kandung kemih yang cukup terisi. Hal ini diperlukan untuk mengubah sudut anteversi uterus, yang mengarah ke deteksi implan yang lebih baik di kompartemen anterior. Selain itu, kandung kemih yang cukup mengisi usus secara superior, dapat mengurangi artefak dari pergerakan usus. Protokol MRI yang khas digunakan pada klinis endometriosis adalah mencakup tiga hal, di antarannya: T2 Turbo Spin Echo (TSE). Pada penggunaan pencitraan ini kontras harus ditingkatkan karena untuk mengidentifikasi nodul peningkat padat dalam kista endometriosis ketika dicurigai adanya transformasi.
Berikut adalah contoh hasil citra MRI pelvis pada wanita usia 46 tahun dengan diagnosa endometriosis.
Â
Keterangan Gambar:
A. HASIL CITRA T2WI SAGITTAL
B. HASIL CITRA T2WI AXIAL
C. HASIL CITRA T1WI AXIAL
D. HASIL CITRA T2WI
E. HASIL CITRA T1WI WITH FAT SATURATION
Â
Nah gimana, udah paham kan sama cara kerjanya MRI untuk mendeteksi penyakit? Semoga artikel ini bisa membantu teman-teman untuk paham ya!
Â
Sumber:
Kido, A. et al. (2022) 'MRI in the Diagnosis of Endometriosis and Related Diseases', Korean Journal of Radiology, 23(4), pp. 426--445. doi: 10.3348/kjr.2021.0405.
Nougaret, S., Lakhman, Y., and et al, 2022. MRI in female pelvis: an ESUR/ESR survey. Nougaret et al. Insights into Imaging, XIII(60), pp. 1-11.
Nugraha, E. P., 2022. PERANAN PEMERIKSAAN MRI PELVIS DALAM PENEGAKAN DIAGNOSIS ENDOMETRIOSIS.
Westbrook, C. & Talbot, J, 2019. MPR IN PRACTICE. 5th ed ed. s.l.:Blackwell Publishing Ltd.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H