Iklim kerja merupakan salah satu faktor lingkungan kerja yang berpotensi menimbulkan bahaya yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan terhadap tenaga kerja bila berada pada kondisi yang ekstrim panas dan dingin dengan kadar melebihi NAB yang diperkenankan menurut standar kesehatan. Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2011 menjelaskan Iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh tenaga kerja sebagai akibat pekerjaannya (Ramayanti, 2015). Iklim kerja panas dapat menyebabkan gangguan baik fisiologis maupun psikologis pada tenaga kerja. Respon fisiologis yang terjadi antara lain adalah vasodilatasi, peningkatan denyut nadi dan suhu tubuh inti. Respons fisiologis dapat diukur dengan peningkatan kehilangan keringat, denyut nadi dan suhu tubuh inti. Tenaga kerja yang terpapar oleh panas secara terus menerus dapat menyebabkan terjadinya heat rash, heat cramp, heat syncope, heat exhaustion, heat stroke, malaria, dehidrasi dan hipertermia. Iklim kerja panas sendri dapat mempengaruhi kondisi fisik dan mental pekerja. Dampak yang sering terjadi pada pekerja akibat iklim kerja panas yaitu kelelahan dan dehidrasi, tetapi masih banyak dampak lain dari iklim kerja panas yang diterima oleh pekerja (Sunaryo, 2019).
Menurut Suma’mur (2009), tenaga kerja yang bekerja di tempat kerja yang melebihi NAB iklim kerja maka dapat mengalami efek tekanan panas. Efek tekanan panas terjadi sebagai akibat dari proses tubuh dalam mempertahankan panas tubuh tidak berhasil. Efek tekanan panas tersebut dapat berupa keluhan subjektif akibat tekanan panas seperti mengeluh rasa panas, banyak keringat, selalu haus, perasaan tidak enak dan hilangnya nafsu makan yang disebabkan oleh hilangnya cairan dari tubuh oleh penguapan keringat (Sari MP, 2017). Lingkungan kerja yang panas dan lembab akan menurunkan produktivitas dan kesehatan kerja sehingga diperlukan suhu yang nyaman untuk penyesuaian waktu kerja dan perlindungan yang tepat untuk tenaga kerja (Pustisari dkk, 2020). Iklim kerja panas bermula dari munculnya energi panas yang berasal dari sumber panas yang dipancarkan langsung atau melalui perantara dan masuk ke lingkungan kerja, dan menjadi tekanan panas sebagai beban tambahan bagi tenaga kerja. Hal tersebut dapat memperburuk kondisi kesehatan dan stamina tenaga kerja bila ditambah dengan beban kerja fi sik yang berat. Sehingga tenaga kerja tersebut akan memerlukan energi yang lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja yang bekerja di lingkungan kerja dengan suhu nyaman yaitu 24°C sampai dengan 26°C (Wulandari, 2017).
Nurmianto (2004) menyebutkan kondisi panas sekeliling yang berlebihan akan mengakibatkan rasa letih dan kantuk. Pekerja berat dengan iklim kerja yang ekstrim tentunya akan membuat pekerja tersebut semakin cepat lelah. Kelelahan yang terjadi pada pekerja tersebut juga dapat diakibatkan dari status gizi yang kurang baik. Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat dari konsumsi makanan dan zat gizi. Orang yang sedang berada pada kondisi gizi yang kurang baik akan lebih mudah mengalami kelelahan dalam melakukan pekerjaannya Iklim kerja mempengaruhi daya kerja, produktivitas, efisiensi dan efektifitas kerja seseorang. Iklim kerja yang nyaman membuat tenaga kerja tidak gerah sehingga dalam melaksanakan pekerjaannya memperoleh hasil yang baik. Suhu nyaman bagi orang Indonesia sekitar 24–26°C. Suhu yang lebih dingin yaitu 20°C dapat mengurangi efisiensi kerja dengan keluhan kaku atau kurangnya koordinasi otot, sedangkan suhu panas berakibat pada menurunnya prestasi kerja dan kemampuan berfikir. Hal ini akan semakin buruk apabila suhu mencapai 32°C (Suryaningtyas, 2017 ).
Hendra (2009) mengatakan bahwa suhu lingkungan kerja yang ekstrem menyebabkan seseorang tidak nyaman berada di tempat tersebut. Suhu lingkungan yang panas akan menyebabkan cepat lelah, mengantuk, berkurangnya penampilan kerja, dan meningkatkan kesalahan kerja. Menurut Tarwaka (2004) pemaparan suhu lingkungan panas yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan perilaku dan penampilan kerja seperti kelelahan. Sesuai dengan pendapat Ardyanto (2005) bahwa lingkungan kerja yang panas umumnya lebih banyak menimbulkan permasalahan dibandingkan lingkungan kerja dingin. Hal ini terjadi karena pada umumnya manusia lebih mudah melindungi dirinya dari pengaruh suhu udara yang rendah dari pada suhu udara yang tinggi. Suhu tinggi atau suhu yang panas mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi, dan memperlambat waktu pengambilan keputusan, mengganggu kecermatan kerja otak, mengganggu saraf perasa dan motoris, serta memudahkan emosi untuk dirangsang (Ramayanti, 2015).
Menurut Permenakertrans Nomor PER-13/MEN/X/2011 Nilai Ambang Batas (NAB) Iklim Kerja Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB), pekerja dengan pengaturan waktu kerja setiap jam 50-75% dengan beban kerja ringan diperkenankan bekerja pada lingkungan dengan ISBB 30,6°C. Pekerja dengan beban kerja sedang diperkenankan bekerja pada lingkungan dengan ISBB 29,0°C dan pekerja dengan beban kerja berat diperkenankan bekerja pada lingkungan dengan ISBB 27,5°C. Pemberian gizi pada tenaga kerja bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan, efisiensi, produktivitas yang tinggi, mempertahankan dan meningkatkan ketahanan tubuh serta menyeimbangkan kebutuhan gizi dan kalori terhadap pekerjaan yang dilakukan. Menurut Suma’mur (1996) bahwasannya bila status gizi dikaitkan dengan kelelahan kerja, maka seseorang dengan status gizi kurus atau berat badan kurang cenderung lebih mudah mengalami kelelahan karena keterbatasan atau ketidaksediaan cadangan zat gizi yang nantinya diubah menjadi energi saat beraktifitas. Tidak berbeda dengan seseorang yang memiliki status gizi gemuk, mereka juga cepat mengalami kelelahan karena selain memiliki keterbatasan kemampuan otot dan tulang juga disebabkan adanya timbunan lemak pada alat vital yang ada di dalam tubuh sehingga mengalami hambatan dalam melaksanakan fungsinya (Suryaningtyas, 2017).
REFERENSI
Pustisari F, Laras S, Rachmanida N, dkk. 2020. Hubungan Aktivitas Fisik, Konsumsi Cairan, Status Gizi Dan Status Hidrasi Pada Pekerja Proyek. Jurnal Gizi Unimus 9(2): 215-223.
Ramayanti R. 2015. Analisis Hubungan Status Gizi Dan Iklim Kerja Dengan Kelelahan Kerja Di Catering Hikmah Food Surabaya. The Indonesian Journal Of Occupational Safety And Health 4(2): 177-186.
Sari Mp. 2017. Iklim Kerja Panas Dan Konsumsi Air Minum Saat Kerja Terhadap Dehidrasi. Higeia 1(2): 108-118.
Sunaryo M, Moch S. 2019. Evaluasi Iklim Kerja Di Bagian Produksi Pada Industri Keramik Di Wilayah Gresik. Jurnal Ilmu Kesehatan 1(1): 29-35.
Suyaningtyas Y, Noeroel W. 2017. Iklim Kerja Dan Status Gizi Dengan Kelelahan Kerja Pada Pekerja Di Ballast Tank Bagian Reparasi Kapal Pt. X Surabaya. Jurnal Manajemen Kesehatan 3(1): 31-46.
Wulandari J, Meirina E. 2017. Efek Iklim Kerja Panas Pada Respon Fisiologis Tenaga Kerja Di Ruang Terbatas. The Indonesian Journal Of Occupational Safety And Health 6(2): 207-215.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H