Aku ingat ketika kala itu,
kita duduk termangu menghadap dunia fana,
di balik tirai-tirai tak kasat mata di pinggir kota,
yang melindungi kita dari segala yang membutakan,
dan yang menenggelamkan jiwa dalam abu-abu semesta.
Â
Ketika kedua pasang mata kita bertemu,
dan bibir berucap lirih,
ada nanar yang samar karena telah lelah didera oleh lara.
Namun tak kita ucapkan tangisan-tangisan sukma itu,
karena bagimu diam itu lebih indah,
daripada harus mengisi dunia dengan cerita penuh derita.
Dan katamu, hidup terlalu megah untuk dinodai dengan rasa gelisah.
Â
Kita duduk termangu menghadap dunia fana,
berdua, bersama,
entah untuk sekadar mengamati,
menikmati,
atau malah menangisi benda-benda mati yang tak sanggup kita miliki,
benda-benda tanpa nyawa yang senantiasa mereka puja.
Atau kita memilih berdua karena sama-sama ingin lupa,
pada seisi dunia semu yang mematikan kalbu?
Â
Â
Desember 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H