Mohon tunggu...
Elsa K. Filimdity
Elsa K. Filimdity Mohon Tunggu... Mahasiswa - S1 Fakultas Teologi, Penulis, Seniman, Atlit.

Elsa K. Filimdity, S.Si Teol, adalah mahasiswi lulusan Fakultas Teologi UKSW strata 1. Aktif berorganisasi sejak SMP, menjadi Ketua OSIS SMP Kristen 1 Pulau-pulau Aru selama 2 periode, Ketua OSIS SMA Negeri 1 Dobo (sekarang SMA Negeri 3) 2016/2017. Ketua Forum Anak Jargaria (FAJAR), Pengurus Forum Anak Maluku Manisse 2017-2019. Sekretaris 2 Kwarcab Aru, BPMF Fakultas Teologi 2 Periode pada Komisi C dan menjadi Ketua HIPMMA Salatiga 2 periode, 2020-2022 dan sekarang menjabat sebagai Ketua Walang GPM UKSW. Selain aktif di organisasi, segudang prestasi yang diraih ialah, mewakili Kepulauan Aru sebagai Atlit Catur 2010, mewakili provinsi Maluku untuk Volly Ball Puteri di Jakarta 2014, mewakili Klasis GPM Aru untuk Baku Dapa Anak Remaja GPM, Saumlaki 2015, mewakili Kepulauan Aru untuk Musicalisasi Puisi di Ambon 2016, menjadi Duta Anak Maluku pada Forum Anak Indonesia, Riau 2017. Aktif mengikuti pramuka dengan menjadi: Anggota Saka Bahari dan Anggota Saka Bhayangkara Kepulauan Aru. Hobby: Menulis, Bermain Alat Music (Piano, Suling, Gitar), Cipta Lagu & Puisi, serta olahraga Volly dan Catur.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Stop Politik Identitas

22 Januari 2024   09:53 Diperbarui: 22 Januari 2024   15:32 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

STOP POLITIK IDENTITAS! Mengapa? terjun bebas dalam politik Identitas sudah dilarang secara hukum seperti;

  • UU NO. 7 Tahun 2017 Pasal 280 ayat 1 point B tentang Pemilihan Umum ayat (1) Pelaksana, Peserta, dan Tim Kampanye Pemilu Dilarang : melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; Pada bagian UU ini memuat tentang larangan terhadap ancaman keutuhan NKRI dalam kegiatan Pemilu. Artinya dengan melibatkan politik identitas yang wujudnya berbahaya, mengancam kohesi sosial masyarakat yang berlatar belakang pluralis, maka UU ini merupakan ketentuan yang melarang dan membatasi kegiatan bermanuver dalam politik yang berbahaya seperti itu.
  • UU ITE Pasal 28 ayat 2 tentang Ujaran Kebencian dan Hoax "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)." Hadirnya UU ITE ini mewujudkan kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab, terutama dalam perantaraan media yang semakin mudah diakses. Dengan adanya UU ini, maka tindakan-tindakan ujaran kebencian yang menekankan isu identitas suatu kelompok dapat lebih ditekan lagi, dan tentunya diharapkan dapat meredusir semakin bergejolaknya nilai-nilai yang tidak selaras dengan paham kebersatuan diatas keberagaman.

 

selain itu akibat dari Politik identitas juga mencedrai dan menyimpang nilai-nila luhur: 

Pertama, persatuan. Kehadiran praktik politik identitas dapat dikatakan menyimpang nilai luhur persatuan dan kesatuan suatu bangsa, dikarenakan penekanan politik identitas terletak pada perbedaan identitas, baik dari individu maupun kelompok. Politik identitas menjadi bahaya terhadap persatuan dan kesatuan bangsa apabila identitas diamplifikasi (diperluas) bahkan dimanipulasi untuk target-target politik sembari membenturkan dengan identitas lain.[1] Dalam politik identitas, identitas (kesukuan, agama, dan sebagainya) mendapat peranan penting, ia menjadi simbol yang potensial untuk menjadi sumber kekuatan dalam aksi-aksi politik. Pemahaman tersebut berimplikasi pada kecenderungan untuk: 1) ingin mendapat pengakuan dan perlakuan yang setara atau dasar hak-hak sebagai manusia baik politik, ekonomi, maupun sosial-budaya oleh kelompok. 2) guna menjaga dan melestarikan nilai-nilai yang menjadi ciri khas kelompok yang bersangkutan. 3) kesetiaan yang kuat terhadap identitas yang dimilikinya.[2] Oleh karena kecenderungan untuk teguh mempertahankan ketiga hal tersebut, maka jika satu kelompok diperhadapkan dengan kelompok-kelompok yang lain, yang memiliki identitas maupun nilai yang berbeda, maka besar peluang untuk saling bersinggungan. Hal ini tentu menjadi bahaya ketika berada dalam negara Indonesia yang memiliki beragam perbedaan identitas. 

Kedua, keadilan Kekuatan identitas pada praktik politik identitas membahayakan nilai luhur keadilan. Kekuatan untuk mengukuhkan identitas oleh kelompok tertentu dapat menafikan, menyingkirkan, dan memberantas kelompok identitas yang lain. Logika seperti ini sama halnya dengan yang dikembangkan berdasarkan apa yang disebut oleh Jacques Derrida sebagai prinsip "oposisi biner" atau Michel Foucault sebagai "logika strategis", seperti modern-tradisional, superior-inferior, mayoritas, minoritas, Barat-Timur, Islam-kafir (sesat). Prinsip tersebut cenderung mengindikasikan sikap mendominasi lainnya. Yang pertama diunggulkan, diandalkan, disanjung-sanjung, dan ditakhtakan, sementara yang lainnya direndahkan, dipinggirkan, dilecehkan, dan disampahkan. Yang satu dianggap sebagai pusat, prinsip, dan titik tolak, sedangkan yang lainnya hanya diposisikan sebagai sampingan, marjinal, atau pinggiran, bahkan musuh. Dengan demikian, keadilan tidak lagi menjadi dasar dalam praktik politik identitas.[3] Sebab masing-masing hanya memikirkan keadlian untuk perutnya sendiri-sendiri.

Ketiga, kemanusiaan. Praktik politik tentu memiliki tujuan yang sering dikaitkan dengan kekuasaan menyangkut individu atau kelompok. Dengan alasan memperoleh kekuasaan oleh individu atau kelompok tertentu dapat menghalalkan segala cara. Di tengah-tengah upaya tersebut sikap egosentris dapat muncul. Sikap yang berlebihan untuk memenuhi kepentingan, kesejahteraan, dan keuntungan diri sendiri (individu/kelompok tertentu) dengan mengabaikan bahkan mengorbankan orang lain (individu/kelompok lain).[4] Melalui hal tersebut dapat muncul sikap menganggap sesama sebagai obyek untuk diperalat dan dianggap tidak memiliki martabat untuk dihargai eksistensinya sebagai manusia (subyek).

Keempat, terhadap demokrasi. Demokrasi seharusnya merupakan medan berbagai pihak memperebutkan pengaruh di masyarakat dengan menunjukkan program kerja terbaik untuk memperbaiki segala aspek di tengah lapisan masyarakat yang masih buruk. Jika semakin baik program kerja yang ditawarkan, maka semakin banyak pula para pemilih menyukai dan akan memilih. Dengan memilih mereka yang mengusulkan program paling baik berarti mempercayakan kekuasaan dikelola oleh pemimpin terbaik. Namun, kenyataannya, politisi yang mengeksploitasi identitas kurang menyediakan waktu untuk menunjukkan program terbaik karena sibuk mencari penjelasan mengenai betapa hebatnya calon pemimin dari identitas tertentu, sehingga secara esensial layak menjadi pemimpin. Akhirnya politik identitas membuat para pemilih kurang untuk memperhatikan program kerja, karena yang mereka desakkan ialah kesamaan identitas. Mereka meyakinkan pemilih bahwa jika dipimpin oleh identitas berbeda, maka kehancuran akan dialami oleh anggota yang berasal dari identitas berbeda. Akan tetapi, masalah mendesak, jika program kerja yang berkualitas tidak menjadi fokus utama, maka sebagian bahkan seluruh warga mengalami kerugian. Pada titik ini, politik identitas bermasalah bagi seluruh lapisan masyarakat.[1]

Kelima, penyebaran hoax. Semakin marak terjadinya politik identitas maka semakin tinggi pula penyebaran hoax. Hal ini salah satunya terjadi karena praktik politik identitas yang terjadi di dalam Pemilu (Pemilihan Umum). Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tercatat sebanyak 771 berita hoax yang menyerang para politikus yang bertarung untuk memperebutkan suara masyarakat. Sepanjang tahun 2019 fenomea hoax kian marak terjadi dan diperparah oleh situasi politik yang akan menghadapi Pemilu Tahun 2019. Data Mafindo (Masyarakat Anti Firnah Indonesia), menyampaikan bahwa di tahun 2019 telah terjadi 997 berita hoax sebanyak 448 atau sekitar 49,49% di antaranya bertemakan politik. Sedangkan pada periode Januari-Februari 2019 terjadi sekitar 104 hoax dan 71 hoax bertemakan politik atau sekitar 68,27%.[4] Banyaknya berita-berita, maupun isu-isu mengenai hoax politik berita bohong tentang politik sebagai propaganda untuk memprovokasi masyarakat agar terpengaruh dengan berita, berkaitan dengan pekerkembangan post--truth ini, sangat mudah informasi menyebar dengan cepat, contohnya pada pemilu 2019, banyak isu yang berbahaya dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, seperti isu suku, agama, ras (SARA) hal ini dapat menyebabkan keruntuhan NKRI.[5]

Keenam, terhadap Stabilitas Negara. Politik  identitas  memberikan  ruang yang  besar  guna  terciptanya sebuah keseimbangan dan pertentangan dalam menuju proses demokratisasi oleh sebuah negara.  Apabila politik identitas tidak dikelola dengan tepat juga bijak, maka akan menyebabkan kehancuran stabilitas negara. Pertentangan antaridentitas yang berbeda dapat mengancam kestabilan negara apabila pemerintah tidak memiliki political will dalam menangani isu tersebut. Bukan saja kepentingan politik yang dipertaruhkan melainkan juga kepentingan masyarakat luas atau seluruh lapisan masyarakat, sebab politik identitas sebagai politik perbedaan merupakan tantangan tersendiri bagi tercapainya sistem demokratisasi yang mapan. Sebagai contohnya, masa penjajahan dulu, bangsa Indonesia mampu bersatu karena memperkokoh satu identitas, yakni bangsa Indonesia. Sehingga, mampu melawan penjajah karena dilandasi semangat persatuan. Namun, jika salah mengelola, maka politik identitas akan membuat masyarakat terpecah belah seperti saat terjadinya Pilkada DKI. Dimana sampai saat ini pun masyarakat semakin terkotak-kotak dan terbagi tidak hanya dalam kehidupan perpolitikannya tetapi juga sosial dan budayanya. Hal ini jika dibiarkan terus menerus akan mengoyak stabilitas bangsa, dan ini sangat disayangkan mengingat perbedaan yang dimiliki sejatinya pernah menjadi kekuatan kita, akan tetapi saat ini justru menjadi senjata yang menghancurkan bangsa sendiri.[6]

Ketujuh, intoleransi. Intoleransi dapat dibagi menjadi dua dimensi, yaitu intoleransi kultural dan intoleransi Politik, dampak yang menjadi pengaruh besar dalam politik identitas adalah intoleransi politik, yang dimana intoleransi politik ini mengukur seberapa besar resistensi responden jika pemeluk agama lain menjadi presiden, wakil presiden, gubernur, dan bupati. Untuk mengetahui tingkatan intoleransi menurut data: 2018. Pada 2018, sebanyak 59% responden muslim keberatan nonmuslim menjadi presiden; 55% keberatan nonmuslim menjadi wapres; 52% keberatan nonmuslim menjadi gubernur, bupati, atau wali kota. Data kami menunjukkan bahwa dalam dua tahun terakhir, terutama sejak aksi 212 pada 2016, intoleransi warga secara politik menunjukkan tren meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa intoleransi disebabkan oleh para elit-elit politik dan kaum kaum mayoritas, yang menggunakan hak kuasa dalam menuntut keistimewaan tertentu (Majority Privilege).[7] 

Kedelapan, Ujaran Kebencian (hate speech). Dampak politik identitas ini mengarah kepada kaum elit dan pemimpin pemimpin yang menggunakan kekuasaannya dengan semena-mena untuk memenuhi kepentingan pribadinya sendiri. Hal ini menimpa kelompok minoritas. Contoh ujaran kebenecian ceramah K.H. Abdul Qohar, ketua Front Pembela Islam (FPI) Jawa Barat dalam ceramah terbuka tentang liberalisme. Video ceramah ini diunggah oleh akun bernama Front Pembela Islam. (Lihat, http://www.youtube.com/ watch?v=ZGpM-tO3GO8).[8]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun