Persahabatanku dengan Rin terjalin cukup lama. Lebih dari sepuluh tahun. Sejak dia masih menjadi ibu muda. Perkenalan kami terjadi ketika Rin baru saja pindah rumah tepat bersebelahan dengan rumahku.
Rin orangnya baik. Polos. Ramah. Wajahnya manis. Selain itu ada satu ciri khas yang membuat Rin mudah dikenali. Dia memiliki tahi lalat tepat berada di cekungan bibir atas. Tahi lalat itu datar, tidak menonjol, dengan lingkar diameter sekitar setengah sentimeter
"Tahi lalat ini---konon yang membuat Mas Alex jatuh cinta kepadaku." Suatu hari Rin bercerita demikian dengan pipi bersemu merah. Aku tersenyum. Kupikir, Alex---suami Rin, tidak salah. Sebab dengan adanya tahi lalat besar itu, wajah Rin terlihat semakin manis dan menawan.
"Bu, tahu, tidak? Sebenarnya aku risih memiliki tahi lalat sebesar ini." Di hari yang lain saat bertandang ke rumahku, Rin mengeluh. Tanganku yang tengah bergerak menyeterika pakaian sontak terhenti.
"Kenapa harus risih? Tahi lalat itu sangat sesuai kok menempel di wajahmu. Lagi pula itu kan pemberian Tuhan. Tidak semua orang memilikinya. Kamu sangat beruntung, Rin." Aku menimpali. Rin terdiam sesaat. Wajahnya tampak murung.
"What happen, my bestie? Ayuk, ceritakan padaku." Aku menggeser duduk. Meninggalkan setumpukan pakaian yang masih kusut berantakan.
"Banyak orang bilang, perempuan bertahi lalat seperti ini identik dengan perempuan cerewet dan judes." Rin akhirnya bersuara seraya menutupi tahi lalatnya dengan ujung jari. Sontak aku tertawa.
"Ah, itu hanya mitos, Rin! Buktinya kamu tidak cerewet. Kamu sangat penyabar. Kamu juga tidak judes. Kamu baik dan ramah." Tuturku begitu tawaku reda.
"Sungguhkah itu, Bu?" Rin mendekatkan wajah dengan mata berbinar. Aku mengangguk. Lalu menyentil lembut tahi lalat di bawah hidungnya.
Sesaat kemudian kami tertawa bersama-sama.
***
Akhir-akhir ini durasi pertemuan kami---aku dan Rin, agak berkurang. Rin, selain sibuk mengurusi anak-anaknya yang mulai beranjak remaja, dia juga disibukkan oleh kegiatan lain. Sementara aku, sibuk berkutat dengan kegiatan yang mengharuskanku duduk berlama-lama di depan laptop.
Begitulah. Meski tinggal berdekatan, nyaris berminggu-minggu kami tidak bertemu. Sampai suatu siang secara tidak sengaja aku melihatnya. Rin, berlari-lari kecil lewat depan rumahku. Sepertinya dia tengah mengejar salah satu kucing peliharaannya yang kabur dari kandang.
"Rin!" Aku berseru riang memanggilnya. Rin sontak menghentikan langkah. Melupakan kucing yang berlari entah ke mana. Demikian pula aku. Tak peduli pada bunyi token listrik yang merintih-rintih sejak pagi.
"Bu, aku kangen." Ujarnya seraya memeluk erat pundakku yang ringkih.
"Iya, sama. Aku juga." Aku membalas hangat pelukannya. "Kita ngobrol sebentar, yuk. Oh, iya. Kebetulan aku barusan masak kolak pisang dan nangka." Aku membimbing Rin masuk ke dalam rumah. Seperti biasa, kami duduk berselonjor kaki di atas ubin ruang tamu.
"Bu, ada sesuatu yang ingin kusampaikan." Rin menatapku sejenak. Aku menggeser duduk, siap mendengarkan cerita sahabatku.
"Bu, sepertinya tahi lalat ini harus benar-benar dienyahkan." Ujarnya dengan suara agak bergetar. Aku terperangah.
"Apakah ada orang yang membuatmu kesal lagi? Mengatakan kalau..."
"Bukan orang lain, Bu. Tapi suamiku. Katanya, dia bosan melihat wajahku yang itu-itu juga. Sesekali dia ingin melihat aku tampil tanpa tahi lalat. Apakah Bu Lilik punya kenalan dokter bedah yang bisa mengangkat tahi lalat ini?"
Mendengar penuturan Rin, rasanya aku ingin sekali tertawa. Bagaimana tidak. Dulu Rin bilang, Alex jatuh cinta karena Rin memiliki tahi lalat unik itu. Tapi sekarang? Ah, ada-ada saja.
"Rin, kukira Alex berkata begitu karena ada sesuatu yang harus kamu benahi. Bukan karena bosan melihat tahi lalatmu itu." Aku berkata serius. Rin menatapku sejenak. Agaknya dia belum memahami sepenuhnya apa yang kumaksudkan.
"Begini, Rin. Menurutku, kamu itu terlalu polos. Bagaimana kalau aku ajari sedikit bersolek? Tanpa harus menyingkirkan secara permanen tahi lalat pembawa keberuntunganmu itu." Lanjutku seraya berdiri. Kali ini Rin yang terperangah. Tapi kemudian dia mengangguk dan tertawa renyah.
"Bu Lilik benar. Akhir-akhir ini aku jarang memerhatikan diri sendiri. Tampil di depan suami awut-awutan. Jauh dari kata cantik!" Dia mengakui kelalaiannya. Aku meraih pundaknya dan berbisik, "Rin, kamu itu cantik. Hanya perlu dipoles sedikit."
Jadilah siang itu aku menggelar semua alat kosmetik yang selama ini tersimpan rapi di dalam laci. Lalu memandu Rin berdandan. Mulai dari cara memakai skin prep yang benar, mengaplikasikan foundation, memakai bedak tabur, menyadur lipstick, hingga melukis alis agar tampak rapi dan natural.Â
Termasuk bagaimana cara menyamarkan tahi lalat di atas bibirnya itu.
Rin sangat antusias mengikuti langkah-langkah tata rias yang kuajarkan. Begitu usai, di depan cermin dia mematut diri sembari tersenyum-senyum.Â
"Bu, sebentar lagi suamiku pulang kerja. Aku mau pamer wajah baru ini, ah! Wajah tanpa tahi lalat!" Rin beranjak pergi dengan langkah riang.
***
Sore hari, Rin lewat di depan rumah untuk mencari kucingnya yang tak kunjung pulang, Dia masih tampil cantik.Â
Aku senang melihat keceriannya telah pulih. Semakin senang ketika dia mampir dan bilang begini, "Bu Lilik benar. Mas Alex terpana begitu melihat penampilanku. Jauh lebih segar, katanya. Tapi dia sempat terkejut dan marah saat melihat tahi lalatku hilang. Untung hanya disamarkan dengan foundation. Jadi aku bisa mengembalikannya lagi dengan sekali hapus."
Ujung-ujungnya tawa kami pun berderai. Baru berhenti ketika Rin teringat harus mencari kucingnya yang hilang dan aku harus mengisi token listrik yang rintihannya kian menjadi-jadi.Â
***
Malang, 21 November 2024
Lilik Fatimah Azzahra
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H