***
Akhir-akhir ini durasi pertemuan kami---aku dan Rin, agak berkurang. Rin, selain sibuk mengurusi anak-anaknya yang mulai beranjak remaja, dia juga disibukkan oleh kegiatan lain. Sementara aku, sibuk berkutat dengan kegiatan yang mengharuskanku duduk berlama-lama di depan laptop.
Begitulah. Meski tinggal berdekatan, nyaris berminggu-minggu kami tidak bertemu. Sampai suatu siang secara tidak sengaja aku melihatnya. Rin, berlari-lari kecil lewat depan rumahku. Sepertinya dia tengah mengejar salah satu kucing peliharaannya yang kabur dari kandang.
"Rin!" Aku berseru riang memanggilnya. Rin sontak menghentikan langkah. Melupakan kucing yang berlari entah ke mana. Demikian pula aku. Tak peduli pada bunyi token listrik yang merintih-rintih sejak pagi.
"Bu, aku kangen." Ujarnya seraya memeluk erat pundakku yang ringkih.
"Iya, sama. Aku juga." Aku membalas hangat pelukannya. "Kita ngobrol sebentar, yuk. Oh, iya. Kebetulan aku barusan masak kolak pisang dan nangka." Aku membimbing Rin masuk ke dalam rumah. Seperti biasa, kami duduk berselonjor kaki di atas ubin ruang tamu.
"Bu, ada sesuatu yang ingin kusampaikan." Rin menatapku sejenak. Aku menggeser duduk, siap mendengarkan cerita sahabatku.
"Bu, sepertinya tahi lalat ini harus benar-benar dienyahkan." Ujarnya dengan suara agak bergetar. Aku terperangah.
"Apakah ada orang yang membuatmu kesal lagi? Mengatakan kalau..."
"Bukan orang lain, Bu. Tapi suamiku. Katanya, dia bosan melihat wajahku yang itu-itu juga. Sesekali dia ingin melihat aku tampil tanpa tahi lalat. Apakah Bu Lilik punya kenalan dokter bedah yang bisa mengangkat tahi lalat ini?"
Mendengar penuturan Rin, rasanya aku ingin sekali tertawa. Bagaimana tidak. Dulu Rin bilang, Alex jatuh cinta karena Rin memiliki tahi lalat unik itu. Tapi sekarang? Ah, ada-ada saja.