Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Selir

14 November 2023   05:15 Diperbarui: 18 November 2023   06:01 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kisah Dewi Wahita dan Dewi Puyengan menjadi begitu fenomenal, itu bisa dimaklumi. Sebab selain cantik keduanya memang memiliki peran penting dalam perjalanan hidup Prabu Minak Jinggo, sang penguasa Blambangan yang juga adalah suamiku. 

Suamiku? 

Iya, suamiku. Seperti dua perempuan itu, aku juga dipersunting oleh Kang Mas Minak-demikian aku memanggilnya. Dijadikannya aku selir kesayangan. Selir yang didatangi pada malam-malam tertentu. 

***

Oh, ya. Namaku Dyah Ayu Kusuma Wening. Sebelum bertemu Kang Mas Minak, aku tinggal di sebuah desa terpencil di pinggir hutan bersama Ayahku yang bekerja sebagai gamel atau tukang merawat kuda. 

Sampai suatu hari sang Prabu Minak melihatku. 

Aku sedang membantu Ayah menyiangi rumput ketika lelaki perkasa itu datang. Lalu tanpa tedeng aling-aling, penguasa Negeri Blambangan itu menyampaikan keinginannya untuk memboyongku. 

Tentu saja Ayah tidak berani menolak keinginan lelaki yang terkenal sakti mandraguna itu. Maka serta merta diserahkannya aku. Direlakannya begitu saja anak semata wayangnya ini untuk dijadikan selir. Selir yang ternyata tidak diboyong ke istana. Melainkan disembunyikan di suatu tempat yang hanya kami---aku, Ayah, dan Kang Mas Minak yang tahu. 

***

Menjadi selir seorang raja membuat hidupku berubah drastis. Aku bukan lagi gadis lugu berpenampilan sederhana. Kang Mas Minak telah menyulapku menjadi perempuan ningrat dan berkelas.  

Bagai mimpi rasanya bisa mendapatkan semua ini. Perubahan yang seolah mustahil. Sebab bagaimana bisa seorang raja tertarik pada gadis dari kalangan jelata sepertiku? Apa yang membuatnya jatuh cinta?

Tapi kemudian aku teringat kata-kata Ayah. Ayah pernah memujiku jikalau aku ini gadis yang cantik. Gadis yang memiliki postur tubuh bagus, kulit putih, hidung bangir. Juga mata indah. Mata yang-masih kata Ayah, sangat pantas dimiliki oleh seorang permaisuri. 

Sungguh. Aku sangat tersanjung. Dan, puja-puji itu perlahan membawa pengaruh bagi pertumbuhan karakterku. Diam-diam aku menyimpan obsesi besar. Bahwa suatu hari nanti aku tidak saja akan menyingkirkan dua selir cantik itu---Wahita dan Puyengan, tapi aku juga harus bisa menjadi permaisuri tunggal di Negeri Blambangan. 

Mimpiku perlahan bergerak menuju nyata. Tak berselang lama didapuk menjadi seorang selir, aku mengandung dan melahirkan bayi laki-laki titisan Kang Mas Prabu. Bayi yang kugadang-gadang kelak bakal mengangkat derajatku dari seorang selir menjadi permaisuri.

Tapi sebuah peristiwa pahit memupuskan semua harapanku. 

Suatu malam Ayah datang ke tempat persembunyianku dengan wajah tegang dan tubuh gemetar. 

"Ada apa, Ayah? Apa yang telah terjadi?" Aku bertanya gusar. 

"Prabu Minak, Nduk! Seorang pemuda bernama Damar Wulan telah berhasil membunuhnya!"

"Apa?!" Sontak aku merangsek maju. Menatap Ayah dengan sorot mata tak percaya. 

"Terlalu panjang dan rumit untuk diceritakan, Nduk. Yang jelas peristiwa ini melibatkan mereka, dua selir sainganmu itu." Ayah menjelaskan. 

"Wahita dan Puyengan? Apa yang sudah mereka lakukan, Ayah? Apakah mereka berkhianat?" Aku mencecar Ayah dengan pertanyaan bertubi-tubi. Dan, Ayah mengangguk pelan. 

Mendapati kenyataan buruk itu sontak aku menggeram. Bagai singa betina yang terluka, mata indahku menyala nanar. Ada dendam dan ruahan benci tengah berkecamuk di dalamnya. 

Dan, malam itu juga aku berlari kencang menembus kabut, melintasi kegelapan, menuju Kaputren yang dibangun tepat di bagian belakang istana Blambangan. 

Sesampai di Kaputren, tempat di mana para selir biasa bercengkrama, aku berteriak sekeras-kerasnya. Kusebut nama Wahita dan Puyengan. Hingga tenggorokanku kering. 

***

Berita Orang Hilang

Telah pergi dari rumah lebih dari satu bulan, seorang gadis bernama Ayu, umur 22 tahun. Dengan ciri-ciri fisik sebagai berikut:

Tinggi badan sekitar 160 cm. Rambut hitam. Mata besar. Hidung mancung. Kulit putih. 

Ketika meninggalkan rrumah ia memakai daster dan sandal jepit berwarna kuning. Membawa boneka berkepala gundul dan sebuah buku cerita favoritnya. 

Bagi Anda yang melihat atau bertemu gadis dengan ciri-ciri yang telah kami sebutkan, harap segera menghubungi pihak keluarga atau nomor ponsel yang tertera di bawah ini.

Sebagai informasi tambahan, gadis bernama Ayu ini menghilang usai menjalani tetapi medis akibat benturan keras di kepalanya. 

Aku sontak menarik topi kumal di atas kepalaku hingga nyaris menutupi kedua mata saat berita disertai sebuah foto agak buram itu tayang di layar televisi yang terletak di pojok warung. 

"Ini jatah nasimu, Neng." Ibu pemilik warung menyodorkan bungkusan kecil ke arahku. Aku menerima pemberian itu tanpa berkata-kata. Sesudahnya, seperti biasa aku pergi meninggalkan warung dengan langkah gontai. 

"Kita sudah berjanji tidak akan pulang sebelum menemukan Dewi Wahita dan Dewi Puyengan. Bukan begitu, anakku?" Aku berbisik seraya mendekap erat benda mungil tanpa rambut yang kuikat jadi satu dengan buku tua berjudul Minak Jinggo Gugur.

***

Malang, 14 November 2023
Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun