Malam itu Ainun berdiri mematung di balkon lantai dua tempat ia indekos. Dua siku tangannya bertopang pada besi pembatas yang melingkar membentuk huruf C. Dibiarkannya angin bertiup kencang menerpa rambutnya yang panjang tergerai.
Di langit bulan sedang bersinar utuh. Ainun mendesis berkali-kali. Bukan karena udara dingin, melainkan karena menahan perasaanya yang gundah. Ia benci suasana malam Minggu seperti ini. Malam Minggu keparat! Malam Minggu yang mengingatkannya pada peristiwa pahit masa lalu.
Ainun mendesah sekali lagi. Ia ingin melupakan semuanya. Hatinya yang patah, perasaannya yang gundah, juga jiwanya yang tak henti gelisah mengembara.
Dan, dorongan ingin melupakan itu membuat pandangannya beralih pada bangunan tua yang terletak di seberang jalan. Bangunan yang berjarak sekitar sepuluh meter dari tempatnya berdiri.
Dari jauh bangunan itu tampak gelap gulita tanpa penerangan. Cahaya bulan hanya mampu menyentuh bagian atapnya saja.
Beberapa detik pandangan Ainun terpaku di sana. Sampai kemudian ia terhenyak dan menyadari bahwa sedari tadi ada seseorang sedang mengawasinya. Seseorang yang berdiri sama persis seperti dirinya. Di atas balkon gedung tua itu.
Perlahan Ainun menarik kedua siku tangannya. Hatinya sontak sibuk bertanya-tanya. Siapa gerangan dia, orang yang sedang mengawasinya itu? Bukankah bangunan tua itu sudah lama dinyatakan kosong?
Ya, sejak mengalami kebakaran hebat dua tahun silam, bangunan berlantai dua itu dibiarkan terbengkalai begitu saja. Para penghuninya memilih pindah ke kos-kosan lain.
Dari cerita yang beredar, kebakaran di gedung tua itu sempat menelan korban jiwa. Seorang pemuda berkebangsaan asing tewas dilalap api karena terperangkap di dalam kamarnya. Meski polisi berhasil mengevakuasi jasadnya, namun kondisi pemuda itu nyaris tidak bisa dikenali karena sekujur tubuhnya hangus.
Ainun masih berdiri termangu di atas balkon yang pagarnya melingkar separuh itu. Demikian juga dengan seseorang yang berdiri di gedung tua itu. Ia tampak belum beranjak seinci pun.