Martin baru saja meringkuk di balik selimut ketika suara ribut-ribut itu terdengar. Sontak ia melompat dari tempat tidur. Diraihnya senapan yang tergantung pada dinding kamar.
Melihat gelagat kurang baik itu, segera kumatikan laptop yang sedari tadi kubiarkan menyala. Serta merta kuhadang langkah Martin, berusaha membujuknya.
"Sayang, letakkan kembali senapan itu, ya. Jangan bertindak bodoh. Pagi tadi kau sudah menembak salah satu dari kucing-kucing liar itu, bukan?"
"Diam kau, Ellen! Geram sekali aku! Kali ini akan kuhabisi kucing-kucing tak tahu diri yang kerjanya hanya bikin ribut itu!" Martin menghardikku. Dan, tanpa bisa dicegah lagi ia bergegas menuju loteng.
Dor! Dor! Dor!
Terdengar suara tembakan beruntun. Memecah kesunyian malam.
***
Usai insiden penembakan itu nyaris semalaman aku tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku tertuju pada nasib kucing-kucing liar itu. Apakah mereka bisa menyelamatkan diri dari muntahan peluru Martin?
Ah, entahlah.
Yang kuingat, aku tahu persis bagaimana tabiat Martin. Suamiku itu selain pemarah juga pembenci kucing. Sepertinya dia trauma berat karena pernah mengalami kecelakaan saat berkendara motor akibat dikejutkan oleh seekor kucing yang melompat secara tiba-tiba di hadapannya.Â
Hal itu tentu saja berbanding terbalik dengan diriku. Aku pecinta kucing. Sayangnya Martin tidak mengetahui rahasia itu. Aku bahkan pernah menghabiskan masa kecil bersama sekawanan kucing liar.